Mohon tunggu...
Thariq Warsahemas
Thariq Warsahemas Mohon Tunggu... -

Seorang anak laki-laki yang tinggal di sudut Bekasi Timur. Hobi saya saat ini menulis, fotografi, dan membaca, walau kadang ada bosannya juga. Kesimpulannya, I'm the boy who finding the truth in this small world.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dibawah Tanah Masih Ada Tanah

21 Desember 2009   01:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:51 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

‘eh, ntar lu ke Jogja bawa apa ?’

‘Gua mau beli bakpia pathok buat oleh-oleh dari Jogja’.

‘Wah, gua dah gak sabar ke Jogja’.

‘Lo gak bawa obat ke Jogja ? kalo disana lo kumat kan repot’.

Itulah sekelumit pembicaraan teman-teman saya selama seminggu sebelum ke Jogja. Mereka akan melaksanakan kunjungan museum selama 3 hari 2 malam disana. Sementara saya dan teman-teman akselerasi saya akan melaksanakan semacam pemberian motivasi untuk menghadapi UN di puncak. Bersama kakak kelas 9.

Rasa iri dan cemas bercampur dalam hati saya. Rasa iri karena tidak bisa ke Jogja bersama teman-teman yang seharusnya satu angkatan, dan rasa cemas menghadapi kakak kelas yang kebanyakan sangar. Saya benar-benar takut menghadapi kakak kelas 9. Kebanyakan mereka tidak menganggap saya dan menyisihkan saya. Kadang-kadang juga dijahili. Entah apa yang tersisa dariku sepulang dari AMT di puncak nanti.

’Dengerin cerita papa dulu deh, mas’. Kata papa saya di ruang tamu rumah saya. Setelahsaya ceritakan permasalahan saya kepadanya. ’Mas tau kan kalau eyang, papanya papa, dulu miskin banget. Jualan ikan asin. Jadi kalo papa lewat di depan temen-temen papa yang kaya pasti dikatain ’woo anak penjual ikan asin, bau ikan asin’, gitu. Belom lagi dijahilin ama anak-anak yang lebih gede, dijorokinlah, apalah, badan papa waktu itu kan kecil. Papa pengen berhenti sekolah, tapi gak mau bikin eyang sedih. Jadi papa bertekad, papa harus jadi orang pinter, jangan sampai miskin lagi. Gitu. Dengan doa plus ikhtiar, papa alhamdulillah lulus SD, SMP, SMA dengan hasil yang bagus, dapet beasiswa ke jepang, lagi. Jadi, penderitaan yang mas bilang itu belum ada apa-apanya’.

Kata-kata papa tadi saya cerna baik-baik. Memang benar, ’penderitaan’ saya belum ada apa-apanya penderitaan papa dulu. Saya enak bisa sekolah gampang, papa harus bantuin papanya kerja buat sekolah. Saya di olok-olok teman hanya untuk bercanda, papa di olok-olok sepenuh hati Bedanya lagi, papa yang sudah dihantam sedemikian rupa masih bertahan, saya di kelitik sedikit saja sudah mengeluh.

***

Saya membuat pribahasa sendiri, yaitu dibawah tanah masih ada tanah. Kebalikan dari diatas langit masih ada langit, dibawah tanah masih ada tanah artinya masih ada yang lebih bawah, lebih menderita dari kita. Jadi, jika kita merasa paling bawah, sesungguhnya masih ada yang lebih bawah dibandingkan kita.

Sahabat kompasiana merasa penghasilannya tidak cukup? Masih banyak yang tidak memiliki pekerjaan. Merasa paling bodoh dikelas? Masih banyak yang tidak bisa sekolah. Sedang kesal karena diatur-atur orang tua? Masih banyakyang tidak pernah merasakan kasih sayang orangtua. Sedang bersedih karena kematian salah seorang kerabat? Ada yang kehilangan semua kerabatnya sekaligus.

Kita jangan merasa minder dengan kekurangan dan masalah yang kita miliki. Lihatlah kebawah, masih banyak yang lebih kekurangan dan masalah yang lebih besar. Bersyukurlah dengan apa yang kita miliki dan bangkitlah dari keterpurukan. Kembali berjuang menjalani hidup, dan bantulah mereka yang lebih kekurangan. Agar tak ada tanah lagi dibawah tanah.

Salam Persahabatan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun