Mohon tunggu...
Ahmad Thariq
Ahmad Thariq Mohon Tunggu... -

Cuma mahasiswa biasa penggandrung literasi dan kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Afi dan Pertanyaan yang Tak Terjawab

28 Mei 2017   22:15 Diperbarui: 29 Mei 2017   04:38 3689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia maya dibuat geger oleh kemunculan seorang siswi asal SMA Negeri 1 Gambiran yang tiba-tiba menyuarakan kritik tajam terhadap isu toleransi agama dan kemanusiaan. Kehadiran nya yang mengundang kontroversi kembali membuka keran perdebatan baru yang semula berporos pada kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Seiring berlangsung nya fenomena tersebut, beragam tanggapan menyeruak dari kalangan netizen. Sebagian pihak memuji daya kritis Afi yang memiliki kepekaan lebih menyangkut isu-isu sosial, namun, tak sedikit pula yang melontarkan cemoohan sampai melabelkan cap neagtif kepada sosok Afi.

Alhasil, Afi yang semula hanyalah seorang siswi SMA biasa, kini melonjak pamornya semenjak tulisan-tulisan nya di blow updan dibagikan di media sosial. Tulisan Afi pun sudah menjangkau media cetak, terakhir, sosoknya terpampang di koran Kompas, halaman 20, pada rubrik Ssosok, dengan tajuk Pesan Damai untuk Negeri. Sorotan terhadap Afi juga datang dari kalangan intelektual. Afi sempat diundang oleh rektor Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang untuk berbicara dihadapan para profesor dan Perwakilan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) se-Jawa Timur.

Seiring berlangsungnya fenomena ini, gelontoran pertanyaan mulai menghampiri penulis.
 “Kenapa sosok Afi Bisa viral di dunia maya? ”
 “Bagaimana relasi antara teks, tindak, dan konteks pada wacana yang dihadirkan Afi? ”
 “Apa makna dari kehadiran Afi? ”

Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut, melalui pembacaan berdasarkan teks, tindak, dan konteks kemunculan Afi. Sebagai pisau analisis, penulis menggunakan Hermeneutika Gadamerian, cetusan seorang Filosof berkebangsaan Jerman, Hans-Georg Gadamer.

Agama adalah Warisan

Salah satu tulisan Afi yang paling mengundang polemik bertajuk Warisan. Afi membuka wacana tersebut dengan menghadirkan shock therapybagi pembacanya. Berikut saya kutip statement nya:

“Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.

Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan.

Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.

Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara”

Setidaknya, baris inilah yang mungkin menjadi pusat perdebatan sepuatar wacana ini. Padahal kalau dicermati secara keseluruhan teks, fokus substansi yang dibahas lebih menyinggung pada kejadian yang faktual seputar intoleransi antar kepercayaan yang terjadi. Letupan reaksi pun bermunculan. Cemoohan, sampai  mengidentikan Afi dengan golongan tertentu, seperti Islam Liberal, Antek Aseng, juga Pluralis, namun, dibalik itu semua, tak sedikit juga yang berdecak kagum dan memuji wawasan Afi berkaitan dengan pemahaman nya pada isu toleransi

Tapi benarkah Afi seorang Puluralis, antek aseng, atau bahkan Islam Liberal?. Rasanya miris sekali kebiasaan melabelkan tak juga kunjung pudar dari kognisi kultural masyarakat kita, selain itu, kebiasaan melabelkan bisa tergolong pada tindak kekerasan. Mengutip Johan Galtung, pada buku karya Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965,terdapat tiga jenis kekerasan, yakni, kekerasan fisik, struktural, dan kultural. Pelabelan secara tak berdasar dan diskriminatif adalah jenis kekerasan kultural. Jenis kekerasan ini datang dari paradigma masyarakat yang dilandasi sentimen dan trauma akibat peristiwa kelam di masa lalu yang menimpa mereka.

Sejak wabah intoleransi agama menyeruak di masyarakat beberapa dekade ke belakang lewat serangkaian operasi organisasi kontroversial seperti ISIS, kebiasaan untuk melabelkan mendapat habitat nya untuk tumbuh dan mengekspansi paradigma yang menanamkan kebiasaan berpikir secara simplisistis, dan mengkotak-kotakan. Secara historis, pola pikir masyarakat Indonesia di era milenial belum bisa menghilangkan bias kognisi warisan Orde Baru yang memandang perbedaan sebagai sesuatu yang mengganggu stabilitas konfigurasi sosial.

Kembali pada pokok ulasan, melabelkan Afi dengan golongan tertentu hanyalah bentuk dari banalitas (kedangkalan) pemahaman yang menjangkiti masyarakat kita. Pelabelan yang dilakukan juga tidak berdasarkan pada fakta yang jelas. Gagasan Afi seharusnya lebih disikapi secara kritis dan reflektif. Perlu diingat meski Afi terbilang memiliki wawasan luas, psikologisnya tetaplah seorang anak SMA yang masih gandrung mempertanyakan banyak hal. Saat masih seusaia Afi pernahkah kita merasa mempertanyakan begitu banyak hal besar terkait keberadaan kita sendiri, atau keyakinan kita sendiri, pernahkah keraguan itu sempat ada pada pikiran kita?. Ketika Afi menulis menyatakan agama adalah warisan, seharusnya kita menyikapi itu sebagai ancaman, barangkali, ada sebuah pertanyaan besar yang tak terjawab dalam dirinya, bahkan saya pun pernah mempertanyakan hal serupa. Ketika seseorang lahir ke dunia, kemudain tumbuh menganut kepercayaan yang keluarga kita imani, akan timbul kebingungan besar saat menghadapi lingkungan sosial yang hadir dengan beragam perbedaan, dan sarat pertentangan. "Kalau agama yang dianut keluarga ku adalah rahmat-Nya,, agar terciptanya kedamaian dan ketenteraman, kenapa kita masih saja bersitegang? Atau agama yang aku dan keluarga ku yakini selama ini tidaklah tumbuh dari iman sendiri, melainkan hanya warisan turun temurun belaka? " Setidaknya keresahan seperti itu juga pernah menghampiri ku saat masih seumuran dengan Afi, dan itu wajar saja menurut ku.

Keresahan Afi tercermin apabiila kita melihat konteks hari ini. Pergolakan keyakinan antar umat beragama akibat intoleransi, baik nasional, maupun mancanegara, menjadi pemicunya. Konflik Israel Palestina, represi terhadap Muslim Rohignya, diskriminasi Muslim di Amerika, sentimen pada etnis Tiongkong, sampai terenggutnya hak untuk dipilih bagi cagub non-Muslim oleh mayoritas adalah segelintir kasus yang mewarnai lika-liku toleransi hari ini.

Khusus di Indonesia, pengaruh paling kuat berasal dari arus politik di Pilgub DKI beberapa saat yang lalu merupakan faktor tersendiri. Kondisi Sosio-politik seketika dibuat keruh saat Ahok menyeret Surat Al-Maidah ayat 51 pada pidato kampanye nya, yang berhasil menimbulkan prasangka negatif dari kalangan Muslim. Pasca kejadian tersebut merebak di media massa, pro-kontra mulai memecah masyarakat. Lontaran kecaman dan dukungan mewarnai jalan nya kampanye Pilgub DKI. Kecaman paling sengit datang dari mobilisasi umat Muslim yang ditunggangi oleh ormas-ormas Islam, seperti FPI. Hal ganjil dari fenomena ini adalah Pilgub kali ini juga mendapat banyak sorotan dari masyarakat d luar Jakarta. Ini terbukti dari maraknya partsisipan Aksi Bela Islam mulai dari jilid satu sampai sekian yang berhasil diadatngkan dari luar daerah DKI Jakarta

Tereliminasinya Ahok tidaklah berdampak signifikan pada redanya polemik keagamaan. Efek domino pasca kampanye terasa masih cukup kuat yang mengakibatkan mencuatnya peristiwa-peristiwa turunan yang mengikuti.

Disinilah kita mampu melacak konteks kemunculan Afi. Hadirnya Afi sebagai figur yang menjadi sorotan publik belakangan ini merupakan salah satu peristiwa turunan yang mencuat sebagai imbas dari iklim politik Pilgub yang tak kunjung reda, selain kasus penuntutan atas sidang Ahok yang juga bermuara pada akar yang sama. Sekali lagi ini juga menjadi bukti, ekses polemik pilgub yang sarat akan peerpecahan keyakinan berhasil menembus batas waktu dan wilayah. Seandainya wacana keagamaan tidak banyak disangkut-pautkan dalam Pilgub, barangkali sosok Afi tidak akan begitu dikenal seperti sekarang,

Penutup

Kehadiran Afi seharusnya membuat kita berintrospeksi diri sebagai umat beragama. Agama pada fitrahnya adalah anugerah Tuhan yang Maha Esa untuk menebarkan kedalamian dan keadilan di muka bumi, namun, mengapa kita selaku orang beragama bukannya berfokus untuk mengaplikasikan ajaran agama dengan damai dan adil, dan justru sibuk melabeli orang lain ?

Ada sebuah misi yang lebih besar bagi kita dibanding dengan terus membagikan, mencemooh, memuji, dan mencoba meluruskan tulisan-tulisan Afi, yakni, menjawab pertanyaan generasi hari ini, dan Afi khususnya, dengan merealisasikan ajaran agama yang penuh toleransi, adil, dan damai, sebab, itu lah yang selama ini kita dambakan seperti pada sila ke-1 Pancasila. Inilah yang Afi sebenarnya harapkan sebagai jawaban, ketika keyakinan menjamin hubungan individu dengan Nya, individu dengan individu, dan indvidu dengan alam. Perlu kita buktikan bahwa agama memang fitrah bagi manusia, bukan sekedar warisan dan label belaka!

Tulisan ini hanyalah sekedar pengingat bagi kita agar terus menjaga pandangan ke depan menuju sebuah perubahan sosial yang lebih baik. Selama kita terus berdebat seputar tulisan anak SMA yang mempertanyakan keyakinan, maka selamanya ini akan menjadi kutukan lingkaran setan bagi generasi minenial yang akan terus berkutat pada sikap intoleransi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun