Permasalahan mengenai UU Omnibus Law, terkhusus UU Cipta Kerja atau yang biasa disingkat UU Ciptaker ini sudah begitu ramai diperbincangkan oleh berbagai macam kalangan. Produk legislasi yang banyak orang katakan bermasalah ini menjadi salah satu topik paling hangat di tahun 2020.Â
Pasalnya, beberapa kelompok masyarakat merasa dirugikan atas pengesahan UU yang semestinya menyejahterakan rakyat ini. Sedikit dari banyak kelompok tersebut ialah buruh, perempuan, dll. Perempuan merupakan salah satu kelompok yang termarginalkan secara historis dan seringkali mendapatkan ketidaksetaraan akses, perlakuan, kekuasaan, dll dengan laki-laki.
Kekuasaan menjadi salah satu hal yang penting untuk diterlisik jika ingin menganalisis dampak UU Cipta Kerja terhadap perempuan. Dalam buku berjudul Justice, Gender and the Family karya Susan Moller Okin, ia berpendapat bahwasanya jika kita menelisik lebih dalam perihal distribusi 'barang sosial' penting, seperti pekerjaan, kekuasaan, harga diri, peluang pengembangan diri, serta keamanan jasmani dan ekonomi, Okin melihat terdapat ketidaksetaraan yang merupakan hasil dari struktur sosial (Okin, 1989).Â
Dari kutipan di atas, Okin melihat kekuasaan sebagai 'sumber daya' yang selama ini tidak didistribusikan secara merata pada laki-laki dan perempuan.
Partisipasi masyarakat dapat dilihat melalui demonstrasi. Berbagai aksi telah dilancarkan oleh persatuan kelompok-kelompok masyarakat. Organisasi mahasiswa, kelompok buruh, organisasi hijau, dan banyak organisasi akar rumput lainnya kompak mengeluarkan jargon #MosiTidakPercaya seraya melaksanakan aksi yang diharapkan dapat menggagalkan produk legislasi tersebut.
Dikutip dari Suara, terdapat setidaknya lima ancaman dan kerugian yang ditimbulkan UU Cipta Kerja terhadap perempuan. Koordinator Bidang Badan Eksekutif Nasional Perempuan, Arieska Kurniawaty, menyatakan hal tersebut.Â
Menurutnya, hal pertama yang mengancam perempuan ialah RUU ini dianggap sebagai langkah mundur dari komitmen pemerintah untuk analisis gender dalam lingkungan melalui AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) serta KLHS (Kajian Lingkup Strategis). Ia mengelaborasikan lebih lanjut dengan mengatakan bahwa dalam peraturan menteri, tertera dengan jelas bahwa perempuan adalah salah satu kelompok kepentingan dalam konsultasi AMDAL dan KLHS (Ariefana, 2020).
Kedua, ia berpendapat bahwa UU ini mempermudah atau menjamin kemudahan investasi dalam kepemilikan atau penguasaan tanah dapat berujung pada tergusurnya rumah rakyat. Ia juga berpendapat, hal tersebut akan lebih menyulitkan perempuan karena akan memperlebar disparitas.Â
Hal ketiga yang ia katakan ialah ancaman ketahanan pangan karena adanya ketentuan yang menyamakan antar kedudukan produksi pangan dalam negeri dan cadangan nasional dengan impor pangan. Hal ini pun dielaborasi dengan mengatakan fakta bahwa perempuan berlaku sebagai produsen pangan subsisten.Â
Hal keempat ialah UU ini memperburuk perlindungan terhadap hak buruh perempuan. Yang terakhir, Arieska mengatakan bahwa masifnya perampasan lahan, kesulitan dalam menemukan lapangan pekerjaan, pemangkasan hak-hak buruh menjadi hal-hal yang dapat mendorong migrasi tenaga kerja (Ariefana, 2020).
Kekuasaan yang memang belum setara itu seakan-akan berusaha diperparah dengan kehadiran produk legislasi bernama UU Cipta Kerja. Pengeksklusian kelompok perempuan untuk analisis gender dalam lingkungan melalui AMDAL dan KLHS menjadi salah satu bukti nyata perenggutan sumber daya tersebut. Sejatinya, feminisme berusaha untuk mendistribusikan kekuasaan dengan merata, namun sepertinya hal tersebut masih jauh untuk jadi nyata.
REFERENSI
Ariefana, Pebriansyah., Isdiansyah, Bagaskara. (2020). 5 Kerugian dan Ancaman UU Cipta Kerja untuk Perempuan.
Okin, S.M. (1989). Justice, Gender and the Family Vol. 171. New York: Basic Books New York.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H