Mohon tunggu...
Thanthowy Syamsuddin
Thanthowy Syamsuddin Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswa dengan idealisme dan cita-cita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengunjungi Natsir

29 Mei 2011   19:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:04 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ceritanya Kamis sore 26 Mei kemarin, setelah mengakhiri UAS mata kuliah Perilaku Konsumen dan pembahasan maraton tentang Maba 2011 bersama Adkesma dan Mahalum, saya putuskan untuk menuntaskan agenda lama yang sejak tiga bulan lalu belum sempet kesampaian: mengunjungi Natsir! Lebih tepatnya pusara Mohammad Natsir di TPU Karet Bivak, Jakarta. Siapa Natsir? Natsir, yang bernama lengkap Aba Haji Mohammad Natsir Dt. Sinaro Panjang--sesuai dengan tulisan di nisan-- lahir di Alahan Panjang, Solok, 17 Juli 1908. Petama kali saya tertarik mengenalnya setahun yang lalu, ketika diskusi-diskusi kecil bersama anak-anak ILDP terutama Alfatih Timur membahas tokoh satu ini. Rasa penasaran ini dimulai ketika saya tahu bahwa di satu sisi Natsir sangat keras berseberangan secara ideologi dengan Tan Malaka namun di sisi lain juga sangat akrab dengannya. Saya sebagai tokoh Masyumi biasa minum teh bersama tokoh-tokoh PKI. Jadi kita memusatkan diri kepada masalah, bukan kepada person,” katanya. Satu yang langka kita temui pada politikus kita saat ini yang mayoritas pragmatis transaksional. Belakangan saya ketahui bahwa ia memang seorang yang inklusif, ia akrab dengan tokoh partai Katolik seperti Ignatius J Kasimo, dengan tokoh Parkindo J.Leimena dan Mr.AM Tambunan dan golongan tokoh sosialis, nasionalis lainnya. Saya memang belum membaca Capita Selecta-nya apalagi secara khusus mendalami shiroh tokoh ini,  tapi dari beberapa tesis, catatan pemikiran, dan riwayat hidup yang berserakan di google, Natsir, menurut saya adalah seorang yang unik. Ia adalah seorang manusia multidimensi. Menteri Penerangan pertama dan Perdana Menteri Indonesia 1950-1951 pernah dijabatnya. Seorang politikus ulung dari Masyumi. Ia telurkan konsep Mosi Integral yang menyatukan Indonesia dari ancaman perpecahan negara federasi. Lebih jauh dari itu, ia juga merupakan seorang juru dakwah yang disegani di seantero Sumatera Barat bahkan pada koteks Islam Indonesia kala itu. Ia memahami filsafat sebaik ia memahami sejarah dan kebudayaan peradaban bangsa-bangsa Barat. Dari semua narasi tentangnya, wajar jika ia diganjar penghargaan pahlawan nasional dan bahkan anugerah kehormatan dari negara-negara lain mengingat ia juga aktif dalam diplomasi internasional, salah satunya menjadi Presiden Liga Muslim se-Dunia (Islamic World Congres). Namun, kebersahajaan seorang Natsir melampaui semua tingginya penghargaan yang dialamatkan kepadanya. Ia sosok yang sangat sederhana dari sudut pandang manapun. Kesederhanaan dam kebersahajaan ini pula yang ia bawa hingga ke liang lahat. Sejujurnya, saya terenyuh melihat bagaimana kesederhanaan itu masih ia pertahankan hingga saat ini. Pertama kali masuk TPU Karet Bivak di sebelah kiri gerbang utama saya langsung melihat makam Fatamawati, istri Soekarno, yang mencolok dengan makam bertanda nama dan besi berbentuk bambu runcing serta bendera Indonesia sebagaimana umumnya tanda pahlawan nasional yang sudah meninggal. Itu semua tidak saya dapati pada makam Natsir. Bahkan makamnya pun "ditumpuk" dengan makam  anaknya. Satu liang, dua jasad. Hanya bacaan yasin dan tahlil yang bisa saya berikan untuk kebaikannya akhiratnya. Mereka membuang Natsir, kita melupakannya! Natsir pernah dituduh terlibat gerakan PRRI oleh Orde Lama sehingga ia sempat dipenjarakan. Lepas dari Orde Lama, sebuah ironi sejarah di zaman Orde Baru juga menimpanya. Sejak 1980 sampai meninggal tahun 1993 ia dicekal, karena menandatangani 'Pernyataan Keprihatinan' yang kemudian dikenal sebagai Petisi 50 berisi kritik terhadap Soeharto yang sedang di puncak kekuasaan. Kita pun melupakannya dalam bahasa sederhana, melalui pengabaian akan hikmah dan semangat perjuangannya. Serta melalui ketidakingatan kita pada teladan idealisme nan kuat, inklusifitas, dan kesederhanaan kehidupan. Mungkin itu, bagaimana--ketidaksengajaan--kita melupakan Natsir. Terlepas dari kekhilafan kita, mari kita doakan ia sebagaimana kita diajarkan berdoa untuk mereka yang telah mendahului kita. Ya Allah, ampunilah dia, berilah rahmat, sejahtera dan maafkanlah dia. Ya Allah janganlah kami tidak Engkau beri pahalanya, dan janganlah Engkau beri fitnah kepada kami sesudahnya, dan berilah ampunan kepada kami dan kepadanya. "Dan janganlah dipilih hidup ini bagai nyanyian ombak hanya berbunyi ketika terhempas di pantai. Tetapi jadilah kamu air-bah , mengubah dunia dengan amalmu..." (Mohammad Natsir) Referensi: -- [www.pustaka78.com] M. Natsir di panggung sejarah republik Oleh Lukman Hakiem PG78 -- http://pustakadigital-buyanatsir.blogspot.com/ -- http://mohamadnatsir.wordpress.com/category/mohamad-natsir/ -- http://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun