Kertas Pers Untuk "Hadapi" PERS-oalan
Kecuali faktur pembelian dari diler Toyota Hadji Kalla, Dg Like dan sopir truk ini memang masih memiliki lengkap dokumen kendaraannya. "Saya beli tahun 1998. Tangan kedua tapi BPKB, STNK, surat jalan, lengkap semua, fakturnya sudah tidak ada, " katanya seraya menunjukkan dokumen itu.
Di dompet hitam bekas wadah sarung itu, juga ada manual book usang, SIM B1 Umum, dan beberapa potongan kuitansi. Di selipan STNK, ada kartu nama seorang perwira menengah di Mapolda Sulselra.
Kartu nama seorang wartawan surat kabar mingguan, bahkan ia perlihatkan.
"Ini kalau ada petugas yang lain-lain," ujarnya tersenyum seraya memegang kartu seukuran kertas kwarto yang di-laminating. Kartu itu ada tulisan PERS, foto setengah badan, dan ada tulisan "Surat Tugas pers-jurnalis". Ya, kartu ini memang untuk mengatasi "PERS-oalan" tak terduga yang bisa kapan saja dialami Daeng Jama di jalan.
Di Surat tanda nomor kendaraan (STNK) itu, dinas pendapatan daerah mengkategorikan mobil bernomor polisi DD 9751 BA ini dengan truk moben. Daeng Like adalah pemilik tangan ketiga mobil ini. Pemilik tangan pertama atas nama WNI keturunan yang beralamat di Jl Sulawesi Makassar. Pemilik kedua, dari Maros, sekitar 25 km sebelah selatan Kassi. Daeng Like sudah lupa nama pemilik kedua. "Di Berua itu, juga banyak otoyota raksasa," katanya memberi petunjuk.
Kampung Berua di Desa Salewangan, Maros jadi tujuan penulis. Lokasinya berada di kilometer 41-42 poros Makassar-Parepare. Dari arah Pangkep, kira-kira 2 km setelah Jembatan Kalibone, --gerbang perbatasan kabupaten serumpun ini. Di sini, penulis mampir di sebuah rumah panggung kayu. Di samping terparkir dua unit otoyota raksasa.
Nama pemilik rumah itu Olleng (39). Berada di bahu kiri jalan poros negara, letaknya di antara empang (tambak).
"Satu ji oto-ku, satunya punya sepupu yang (tinggal) di belakang," kata Olleng menujuk perkampungan kecil di belakang rumahnya, Kampung Bakkung.
Selain mengelola tambak kecil warisan bapak mertua, Olleng sudah seperempat abad jadi sopir truk. Sudah tiga kali ia ganti mobil. Semuanya pun type DA-110. Awalnya, seri "L", lalu ganti seri J, kemudian terakhir, sejak tahun 2005 sampai tahun 2011, dia mengendarai DA-110 seri A, produksi tahun 1981.
Sehari-hari ia mengangkut semen dan batu gunung. Semen dari PT Semen Bosowa, dan batu gunung dari Mangemba, sebuah kampung yang berada di perbatasan timur Pangkep dan Maros. JIka jalan pintas kecamatan selesai, jarak kampung Kassi dan Berua bisa ditempuh dengan truk dalam 15 menit.
Olleng memilih tak beralih ke dump truck 10 roda, karena pertimbangan ongkos pemeliharaan. Soal kebiasaan dan jaga silatuirahim kelaurga juga jadi pertimbangan. "Kalau oto 10 roda, saya belajar mesin lagi. Juga kalau saya berhenti, keluarga pemecah batu di Mangemba dan penjual bahan bagunan di Makassar, akan susah," ujarnya.
Sehari, Olleng bisa mengantongi keuntungan bersih Rp 100 hingga Rp 250 ribu. Itu berarti dia harus dua kali pulang pergi, Maros-Maros. Sekali jalan, ia butuh ongkos rata-rata Rp 150 ribu. Sebagian besar untuk bahan bakar dan fee harian karnet dan buruh angkut. Sedikit untuk makan siang, ngopi, dan pembeli dua pack rokok filter.
Awalnya Olleng adalah buruh tambak. Setelah menikah dengan Sunni (35), tahun 1996, ia pun mengikuti jejak bapak mertuanya, almarhum Dg Tu'ba (65). Mendiang mertuanya sendiri menjadi supir truk sejak Sunni, istrinya baru berusia 4 tahun. Kini mereka dikaruniai dua anak. Si sulung sudah naik kelas III SMP. Si Bungsu baru kelas 5 SD.
Dg Tu'ba,mertua Olleng, boleh disebut keluarga supir otoyota raksasa. Dia memiliki enam saudara. Masing-masing tiga wanita dan tiga lelaki. Ketiga saudara lelakinya dalah supir truk raksasa. "Yang perempuan ji tak bawa truk, tapi ada tiga sepupu satu kali saya yang juga bawa oto raksasa, dan satu jadi karnet," kata Sunni.