JUSUF Kalla adalah pedagang yang merasakan empuk sekaligus labilnya kursi di Istana Wakil Presiden RI. Dia bukan pelawak, namun logika, sikap dan keputusannya justru banyak membuat orang terpingkal.
Penampilan Kalla sesederhana pembawaanya. Logika berpikir yang simpel mengesankannya sebagai pemimpin yang cenderung menyepelekan persoalan.
Kerena berorientasi hasil, cara pengambilan keputusan Kalla, justru kerap menjadi patron dalam sistem dan sejarah birokrasi Indonesia yang dikenal panjang dan melelahkan.
Dalam buku "Mereka Bicara JK",kesan "pragmatisme JK" terpapar gamblang dan detail. Diceritakan, kemana-mana ajudan kepresidenan selalu diingatkan oleh sekretaris wapres untuk membawa "benda-benda sepele" untuk seorang wakil presiden.
Jika tak mencatat di atas sobekan post it atau mini notes, maka Kalla akan mencari kalkulator dengan modus perhitungan sederhana, + (tambah), - (kurang), X (kali), : (bagi), dan = (equal). Di mobil dinas, di meja kerja dinas, atau ruang rapat kabinet, kalkulator yang banyak di warung-warung pedagang itu selalu menyertai.
Itulah fakta kesederhanaan sekaligus anomali Kalla selama empat tahun di pemerintahan. Dan, tim editor buku "Mereka Bicara JK" memahami betul bahwa defenisi buku berkualitas dan meyakinkan senantiasa menempatkan detail, kronologis, dan fakta.
Buku setebal 510 halaman itu disusun 13 orang. Mereka terdiri tujuh pewawancara dan lima penulis.Sebagian besar berlatar belakang jurnalis. Dan bagi jurnalis, fakta adalah segala-galanya.
Karena berlatar jurnalisme, maka wajar jikalau fakta menjadi hal elementer, dominan, dan disebar merata di 63 judul tulisan. Inilah yang mengkonfirmasikan kenapa story telling atau gaya bertutur, menjadi model penulisan.
Warna opini baru terasa di epilogue, bagian penutup. Penulisnya pakar komunikasi politik Universitas Indonesia (UI), Effendi Gazali. Judulnya bukan banyolan, Di Luar "Untold Stories": Dia Sudah Wakil Presiden Republik Mimpi."
* * *
Nah, di acara bedah buku di Wisma Kalla, Makassar, Senin (18/1) malam itulah, Kalla memaparkan banyak untold stories, kisah yang tak dikemukakan. Misalnya, kenapa nama JK begitu populer, di banding nama lengkapnya, Muhammad Jusuf Kalla.
"Waktu kita sibuk-sibuk kampanye, nama SBY sudah begitu populer. Justru banyak yang tidak tahu apa itu kepanjangan dari SBY. Betul Susilo Bambang Yudhoyono, tapi saya sendiri sering salah menempatkan Bambang atau Yudhoyono-nya di depan. Kan banyak yang punya nama Yudhoyono, juga banyak nama Susilo. Apalagi nama Bambang. Jadi untuk lebih gampang dan supaya tidak salah-salah lagi, kupakai saja yang singkat, SBY. kalau acara resmi, saya sebut Pak SBY. Nah, baek begitu, ndak salahmi."
Para undangan pun terkekeh. Kalla belum berhenti berkisah.
Karena nama SBY itulah Tim L-9, Lembang Sembilan, mulai memikirkan ringkasan nama bagi Jusuf Kalla. "Kan tidak enak, kalau di billboard, tulisan SBY besar dan tebal, tapi nama Muhammad Jusuf Kalla kecil dan ditulis lebih panjang. Tidak enak kalau ada acara."
Kalla melanjutkan, "ya, Dg Alwi (Hamu), Aksa (Mahmud), dan teman-teman mulai cari-cari. Nah ditetapkan MJK, kependekan dari Muhammad Jusuf Kalla. Itu kita sepakati."
Selama beberapa hari kemudian, MJK mulai disosialisasi di media. Tapi entah kenapa atas saran beberapa teman, dan SMS yang masuk ke ponsel anggota Tim L-9 dan Kalla, nama MJK mulai terasa mengganggu. Kalla berkata, "ada yang bilang, MJK itu dekat-dekat dengan MCK. Kalau orang salah sebut atau ada salah dengar, yah MJK bisa terdengar seperti MCK, itu, mandi cuci kakus, dekat dengan WC."
Belum lagi tawa para undangan mereda, Kalla melanjutkan, "makanya sampai sekarang pakai JK. Itulah yang dipakai jadi judul buku ini."
Setting kelakar Kalla di atas, diceritakan saat dia dan tim SBY tengah berjuang untuk running di pemilihan presiden (pilpres) 2004. Konteksnya sebelum keduanya mereka resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
Beberapa jam setelah dilantik di MPR RI, tanggal 20 Oktober 2004,keduanya mengumumkan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Tepat dua bulan setelah pelantikan, tanggal 20 Desember 2004, SBY meneken keputusan strategis di bidang tata pemerintahan. Itu adalah Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2004. Pepres ini mengatur Tentang Pembentukan Tim Penilai Akhir, Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian dalam dan dari Jabatan Struktural Eselon I.
Di mana-mana pepres adalah soal serius. Namun, tidak bagi Kalla. Semua hal bisa jadi banyolan yang logis. Di acara bedah buku itu, dengan tenang dia kembali memaparkan untold strories, kisah yang juga tak ada di dalam buku Mereka Bicara JK.
Judul seriusnya adalah soal Pepres No 5/2004 . "Ini soal TPA, bukan tempat pembuangan (sampah) akhir. Ini tim penilai akhir (TPA) di istana," kata Kalla.
Pepres itu, jelas Kalla, menempatkan wapres secara ex officiosebagai wakil ketua TPA. Ketuanya presiden. Sedangkan sekretaris kabinet, jadi sekretaris TPA merangkap anggota tetap. "Ada juga tiga menteri dan BIN," kata Kalla.
Memang setiap rapat pengambilan keputusan, TPA wajib mengikutkan kepala badan intelijen negara.
Tiga anggota tetap TPA dari kebinet itu adalah menteri dalam negeri, menteri sekretaris negara, dan menteri pendayagunaan aparatur negara. Ada juga kepala badan kepegawaian.
Selain yang tetap, ada juga anggota TPA tak tetap. Mereka adalah menteri dan pimpinan pemerintah non-departemen, jaksa agung, dan atau pimpinan kesekretariatan lembaga tinggi negara.
Anggota tak tetap ini ikut dilibatkan, jika pejabat esleon I yang akan diajukan ke meja presiden, terkait mutasi atau promosi dari instansi yang mereka pimpin. "Setelah digodok tim, sebelum masuk ke meja presiden, nama-nama pajabat eselon I itu lewat meja saya dulu," kata Kalla.
Saat situasi politik mulai labil , kata Kalla, media massa mulai menyorot banyaknya orang Bugis dan Makassar yang jadi pejabat eselon I. "Termasuk (majalah) Tempo ini. Ya, ada wartawannya Toriq (Hadad) yang mempersoalkan Dia bertanya, kenapa mulai banyak pejabat eselon I yang sekampung sama JK."
Kalla menjawab, "ya, saya memang orang Bugis, lalu kenapa! " Menurut Kalla, dalam menempatkan pejabat, dia tak pernah memandang suku atau faktor lain."Saya setuju karena kapasitas dan mereka baek, dan bisa bekerja."
Kalla melanjutkan, "tapi kalau ada yang mempersoalkan suku atau sekampung itu sama dengan (penentuan) jabatan eselon I, ya saya jawab, justru kalau begitu pertanyaan Anda, saya kasihan sama Pak SBY. Coba 80 persen pejabat eselon satu itu adalah orang Jawa. Yah itu wajar. Orang Jawa mayoritas di sini. Wartawannya itu diam dan senyum-senyum."
Saat gemuruh tawa di ballroom berderai, dengan tenang Kalla yang berada di podium melirik ke kiri. Di sana duduk Toriq Hadad. Pemred Majalah Tempo ini jadi satu dari empat pengulas di acara bedah buku malam itu. (thamzil thahir)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H