Bercanda sudah tentu menjadi hal yang lumrah bahkan sudah menjadi fitrah dalam diri manusia. Manusia butuh hiburan, butuh ketawa. Kalau tidak stress merajalela, urat-urat syaraf menegang dan muka pun terlihat menua.
Bercanda juga bisa membuat tali keakraban antara sahabat menjadi makin erat. Tapi bercanda juga ada batasannya.  Tidak bisa bisa semena-mena. Bisa jadi  sesuatu yang menurut kita lucu merupakan hal yang menyakitkan bagi orang lain. Bisa-bisa ada hati yang tersakiti gara-gara goyunan kita.
Seringkali kita lihat canda menjadi kebablasan. Entah bahan candaan yang sebenarnya tidak lucu sama sekali tapi dipaksakan lucu, menertawakan kekurangan orang lain, slapstick, atau komedi yang mengutamakan kebohongan sebagai senjata memancing tawa orang.
Dan parahnya hal tersebut lebih sering kita lihat di televisi yang bisa saja ditonton anak-anak, ditiru mereka dan akhirnya menjadi hal biasa bagi mereka.
Komunitas artis tampil setiap hari di televisi kadang kala kehabisan bahan candaan. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya ketika mereka berusaha mempertahankan rating TV dengan cara menyuguhan tampilan baru di setiap episode.
Sudah pasti pakem panggung selalu mereka pegang teguh yaitu tidak akan mengulang bahan candaan. Artinya mereka selalu mencari joke joke baru agar pemirsa tidak bosan. Itulah ciri dinamis reality show, selalu menampilkan sesuatu yang news dan terbarukan
Ketika kewajiban tayang itu memerlukan materi gress maka artis atau produsernya berpikir keras mencari bahan bahan baru untuk lucu-lucuan. Semua yang sudah pernah digarap dan semua sudah pernah ditayangkan biasanya tidak mereka ulang.
Akibat kejar tayang itulah materi materi sakral yang seharusnya tidak di bahas di tayangan live terpaksa mereka tampilkan juga. Akhirnya mereka terpeleset dengan candaan yang melukai panji panji kehormatan bangsa.
Inilah resiko artis yang sedang naik daun yang wajib me refresh penampilan sehingga mereka kebabalasan menggunakan simbol negara sebagai bahan candaan.
Disamping itu tingkat persaingan antara televisi swasta sungguh sangat menakjubkan. Menakjubkan dalam artian bagaimana caranya agar iklan sponsor terus bisa tetap nempel dilayar televisi produk mereka.
Para produser sangat serius menggarap reality show sebagai tayangan yang katanya sangat di sukai pemirsa. Oleh karena itulah sesama televisi berupaya menampilkan artis artis papan atas sebagai magnet program dengan tujuan mendulang sebanyak mungkin sponsor produk komiditi.
Tak pelak karena terlalu sering tampil dalam hitungan harian maka terjadilah " kecelakaan " Peristiwa ini merupakan resiko yang harus ditanggung publik figur. Tampaknya artis artis kondang kelelahan.
Sementara sang producer atau tim kreatif bingung mencari dan menggali materi baru untuk di sodorkan kepada pemirsa. Kehabisan peluru itulah istilah orang politik.
Inspirasi dan kreasi telah punah karena telah habis dikeluarkan semua. Dalam kondisi seperti inilah pagar pagar tayangan publik ber resiko terlanggar.
Pakar pakar lawakan nasional sekelas Bing Slamet dan Edy Sud dan rekan sangat menjaga bahan candaan. Pelawak kawakan ini berupaya tidak menyinggung hal hal yang sensitif. Bukan saja masalah Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) yang mereka hindari namun memojokkan individu jarang sekali mereka lakukan.
Lawakan mereka lebih memperdaya diri senidiri atau mengorbankan diri sehingga tetap gress dan yang paling penting tidak menyakiti hati orang lain apalagi simbol simbol negara.
Apabila kita perhatikan tayang televisi akhir akhir ini menampilkan program setiap hari dan dapat dipastikan selalu dalam bentuk tayangan langsung (live) . Tayangan langsung disaksikan jutaan pemirsa memang menarik karena tidak ada rekayasa dalam penampilan.
Tayangan live tak bisa di edit seketika. Para pelakon hadir seadanya dan terkadang bisa juga agak berlebihan. Pada saat saat kehabisan peluru (inspirasi dan kreasi) itulah para aktris ini kebabalasan menyampaikan sesuatu yang melanggar etika dan norma.
Nilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan. Dalam hubungannya dengan Pancasila maka ketiganya akan memberikan pemahaman yang saling melengkapi sebagai sistem etika. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai yang menjadi sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaran lainnya.
Di samping itu, terkandung juga pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif. Oleh karena itu, suatu pemikiran filsafat adalah suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar yang memberikan landasan bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan nyata dalam masyarakat, bangsa dan negara maka diwujudkan dalam norma-norma yang kemudian menjadi pedoman.
Oleh karena pelajaran pahit yang dialami oleh beberapa artis bisa menjadi pengajaran bagi komunitas penghibur. Harus tampil terus menerus setiap hari menyebabkan mereka harus menjaga performa dan mematuhi norma norma yang berlaku di masyarakat. Jangan sepelekan pendapat publik, masyarakat semakin cerdas dan sangat peka terhadap segala sesuatu yang melanggar norma dan etika itu.
Point yang ingin disampaikan disini silahkan bercanda dalam rangka menghibur masyarakat karena memang itulah profesi anda. Â Satu hal perlu diingat sikap profesionalisme harus tetap terjaga.
Kalaupun kelelahan sedang menerpa diri jangan memaksakan diri tampil, bisa ber-resiko buruk pada penampilan dan ujung ujungnya akan menurunkan tingkat ketenaran. Jaga stamina tubuh dan juga stanmina otak, dunia ini tidak bisu, hati hati dalam menampilkan diri di sosial med
Salamsalaman
BHP, 21 Juni 2020
TD
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H