Tidak bisa dipungkiri Lebaran identik dengan mudik. Bahasa umumnya pulang kampong. Setahun sekali sungkem bersimpuh di kaki Mak dan Bapak. Namun kendala selalu saja ada ketika sudah diniatkan melihat kampong halaman namun biaya tidak cukup. Itulah sebabnya anak anak rantau jauh jauh hari sudah menabung agar keinginan mudik  bisa terlaksanka setiap tahun.
Sebagai anak keturunan minangkabau walaupun dilahirkan di Tempino Jambi, awak bangga di bilang orang padang. Menjadi bagian tak terpisahkan dari kawasan nan indah menawan tujuan wisatawan.Â
Ayah berasal dari Bengkulu Utara, sepertinya adat budaya sumatera tidaklah jauh berbeda. Dengan demikian sejak kecil kami dididik dengan pola orang minang nan sarat dengan adat bersendi Syariat Islam.
Mudik lebaran ada 3 pilihan. Pertama ke Jambi kedua ke Padang terakhir ke Bengkulu. Pilihan utama tentu Jambi bersebab di tanah ini hampir seperempat umur dihabiskan. Banyak kenangan tertanam di memory permanent nan tidak akan terlupakan. Sedangkan Lintau Lubuk Jantan tempat asal Mak dan Seblat Bengkulu  tempat lahir Bapak di kunjungi dalam beberapa kesempatan. Â
Dalam pergaulan sehari hari darah minang itu ternyata tertandai dengan logat bicara. Â Lahir di Tempino Jambi, sekolah di Palembang, bekerja di Jakarta sejak tahun 1980. Â Bersua dan berkenalan dengan sahabat baru, mereka selalu tepat menduga dan mengira tentang asal usul daerah.
"Anda orang Padang ya?"
Artinya logat ini tidak bisa diubah. Tertanam dihati melalui proses otak memerintah lidah. Padahal awak paseh juga berbahasa daerah Jambi, Palembang, Betawi dan sedkiit bahasa Inggris namun lidah ini tetap setia dengan logat minang bersebab makan rendang. Alhamdulillah, bahagia juga rupanya jadi urang awak mengingat  banyak tokoh nasional berasal dari ranah minang.
Untungnya awak punya pula kemampuan menduga duga dari mana asal daerah seseorang. Berbicara 5-10 menit awak sudah bisa menduga kawan baru itu berasal dari madura, jawa, betawi, batak apalagi orang padang. Â Biasanya tebakan itu hampir selalu benar kecuali ketika menduga seorang itu asli jawa tetapi rupanya dia orang Batak.
Itulah nikmatnya  pergaulan, saling menyapa berbagi berita dengan orang orang yang "kebetulan" berpapasan. Bertemu di area umum kenapa tidak saling menyapa.  Siapa tahu kita mendapatkan nasehat atau ilmu dari teman baru.  Siapa tahu ada hubungan keluarga karena satu daerah, almamater atau sesuatu yang sama misalnya hobi dan pandangan politik.
Dalam kapasitas sebagai jurnalis, duluan menyapa seseorang tampaknya menjadi satu kewajiban. Â Diniatkan saja mendapat inspirasi sebagai bahan tulisan. Â Atau banyak hal lain yang kita alami dengan sahabat baru terkait sesuatu yang tadinya kita tidak paham. Oleh karena sunatullah pula pasang posisi rendah hati, tidak sombong mengaku hebat sendiri. Â Orang lain tidak suka perilaku begini.
Sesuai judul awak menulis Sutan Betawi. Inilah gelaran yang kami terima terutama urang perantau dari Sumatera Barat yang mencari penghidupan di Ibukota Negara. Gelar itu di berikan secara otomatis ketika si Uda perantau asyik manggaleh atau bakarajo sehingga indak  pernah lagi pulang kampuang.Â