Penjual bendera itu tertidur. Tampaknya kecapean setelah berkeliling menjajakan dagangan musiman. Bulan Agustus bendera merah putih berseleweran di seluruh kota dan desa. Bendera itu belum lagi dikibarkan masih diatas gerobak.Â
Bulan ini mereka menjual bendera, entah bulan bulan sebelumnya. Itulah yang bisa dilakukan karena pekerjaan tetap tidak juga didapatkan. Terpaksa berjalan kaki dengan gerobak menjual bendera. Padahal, bendera merah putih itu sangat sakral namun bagi penjual musiman biasa saja. Tiada kesan sedikitpun yang penting bendera terjual habis.
Demikianlah gambaran faktual rakyat Indonesia. Pekerjaan musiman ini tentu tidak menjamin masa depan cerah. Tidak usahlah bicara politik atau tidak sempat mereka memikirkan kapan bisa punya rumah pribadi, bagaimana menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi dan bagaimaa pula memanaskan darpur setiap hari? Itulah persoalan hidup orang kecil ditengah gagahnya kibaran bendera merah putih. Inikah makna sejati kemerdekaan bagi si penjual bendera merah putih?
Mengibarkan Bendera Merah Putih di depan rumah nampaknya sudah menjadi kewajiban moral Rakyat Indonesia. Setiap memasuki bulan Agustus seluruh nusantara di ronai warna merah putih.Â
Apakah itu di kantor, di apartemen, di rumah gubuk kontrakan dan di jalan jalan umbul umbul merah putih berkibar meriah. Kemudian timbul pertanyaan hanya segitu sajakah Indonesia memaknai Proklamasi kemerdekaan. Apakah hanya dengan mengibarkan bendera sudah cukup? Tentu tidak. Kibaran bendera merah putih pada hakekatnya adalah simbol peringatan bahwa Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945,
 73 tahun telah berlalu, apakah sudah semua rakyat 250 juta menikmati kemerdekaan. Menikmati dalam artian tidak tidak dijajah secara geografis tentu jawaban kompak akan terdengar.Â
Merdeka dalam bidang lain seperti keleuluasan ekonomi apakah kita telah "merdeka se merdekanya"? Biarlah para tuan dan nyonya penguasa pemerintahan menjawab.Â
Presiden silih berganti dan rakyat yang itu itu saja yang berawal dalam kondisi perekonomian di kelas menengah bawah, sampai saat ini tidak ada perubahan bermakna. Kalaupun ada rakyat yang berhasil mengubah hidupnya lebih banyak karena mereka ber hijrah dengan kemauan dan kemampuan sendiri.
Kemiskinan struktural itu masih meruak di nusantara. Di sinilah seharusnya para penguasa nan-silih berganti itu memikirkan dan kemudian bertindak bagaimana cara secara makro ekonomi dan mikro ekonomi mampu mengangkat saudara dhuafa itu dari jurang kemiskinan.Â
Mereka tetap mengibarkan bendera di depan rumah. Memandang trenyuh sang merah putih dan kembali bertanya (entah kepada siapa) apakah makna kemerdekaan ini juga merupakan hak kami ? Entah apa yang terjadi di tengah kekayaan sumber alam, subur dan gemburnya tanah air, kenapa kemiskinan itu masih melanda negeri.
Sekali lagi entahlah. Kemiskinan itu semakin mempurukan dhuafa ketika kebutuhan dasar sandang pangan dan papan semakin menjadi barang mewah.
Tidak usyahlah bicara dulu tentang pendidikan dan kesehatan. Selama rakyat jelata masih berjuang mengisi kampong tengah (baca: perut) maka dua kebutuhan itu jangan lagi ditawarkan kepada orang miskin. Selaiknya pemerintah berkuasa berupaya meningkatkan harkat kehidupan rakyat miskin dengan menyediakan sandang, pangan dan papan yang murah terjangkau.
Hanya itu saja yang diharapkan. Tidak muluk muluk permintaan rakyat. Mereka tidak peduli siapa Presiden Republik Indonesia, mereka tidak peduli siapa Gubernur, Bupati dan Camat termasuk Lurah. Rakyat hanya bermimpi kemerdekaan sejati yang bermuara pada ketersediaan sandang pangan dan papan menjadi hak mereka. Â
Ibarat penumpang gerbong kereta api, para penumpang tidak tahu siapa masinis, yang terpenting mereka selamat sampai di tujuan. Demikianlah kini Pak Jokowi menjadi masinis NKRI, apakah rakyat peduli dengan kerja kabinet ketika kehidupan mereka tetap tak beranjak dari garis kemiskinan?
Salamsalaman
TD
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H