Sumber : Berita.suaramerdeka.com
Undang Undang Dasar 45 mengamanatkan dana APBN untuk sektor pedidikan pada pasal 31 ayat (4) yang menyatakan Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Tindak lanjut dari amanat undang undang melalui pencanangan wajib belajar 9 tahun bagi seluruh anak di republik ini. Komitment pemerintah ternyata hanya ada dikertas namun ketika di bandingkan apa yang terjadi dilapangan maka ibarat daging jauh dari panggang. Artinya masih banyak anak anak usia sekolah tidak terlayani, atau anak anak yang masih terlantar akibat ketidak seriusan aparat pemda khusnya dinas pendidikan.
Setiap tanggal 2 Mei diperingati hari Pendidikan Nasional. Apa kabar anak anak Indonesia. Sudahkah engkau duduk rapi didalam kelas mendengarkan cerita pak guru tentang KI Hajar Dewantara ? Sekolah dasar di seluruh bumi nusantara tentu tidak melupakan hari bersejarah ini. Bapak Ibu Guru mengulang dan mengulang lagi pesan ing ngarsa sung tulodo, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Artinya adalah di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan.
Sementara itu masih banyak anak anak berkeliaran di luar gedung sekolah. Mereka bukan tidak mau sekolah, justru keadaan yang memaksa anak anak ini menjadi bodoh. Inilah gambaran faktual anak anak tidak tersekolahkan. Usia sekolah dihabiskan dijalanan, apakah bekerja membantu orang tua atau berdagang recehan atau bisa jadi menjadi pemulung. Kasihan itulah kata yang hanya terucapkan. Tentu kata ini tidak boleh keluar dari mulut penguasa yang disebut juga pemerintah berkuasa.
Seyogyanya wajib belajar bukan saja bebas dari uang sekolah namun secara komprehensif adalah mendatangkan anak ke bangku sekolah. Selama ini pola pikir dan pola tindak yang diterapkan tidak menyelesaikan masalah. Anak yang terlahirkan dari keluarga miskin mana bisa membeli baju seragam dan sepatu. Apalagi tas dan peralatan sekolah belum lagi masalah transport. Bagaimana mereka bisa datang kesekolah apabila alat perlengkapan itu tidak pernah dimiliki.
Seharusnya dinas pendidikan memiliki target di wilayah wewenang masing masing menjaring seluruh anak anak dari keluarga tidak mampu untuk di sekolahkan. Ini dia baru kerja benar dan cerdas bukan sekedar melihat dana Bos dan memberikan bea siswa bebas uang sekolah. Seandainya pola pemerintah sedemikian komprehensif maka tidak akan terlihat lagi anak aak berkeliaran dijalanan sementara teman teman se usia belajar di kelas.
Tentu saja kebijakan Kementerian Pendidikan terkait wajib belajar itu jangan bersifat pasif. Menunggu anak anak datang kesekolah kemudian membebaskan dari iuran. Sikap proaktif berkelililing kesetiap pemukiman bersama bapak Kepala Desa mendata anak anak tidak sekolah. Kemudian memberikan kelengkapan belajar agar anak anak itu “berani” datang kesekolah dan tidak merasa rendah diri.
Point yang ingin saya sampaikan disini bahwa pemerintah harus proaktif mendidik anak bangsa menjadi orang pintar. Paling tidak anak anak Indonesia diseluruh pelosok tanah air sudah bisa membaca, berhitung dan memilki wawasan pengetahuan umum setelepas sekolah menegah pertama. Inilah modal dasar (bagi anak terlantar tadi) untuk ikut bersaing dilapangan kerja dari pada hanya bermodalkan otot. Tentu KI Hajar Dewantara tersenyum bahagia menyaksikan dari alam sana bahwa cita cita mencerdaskan bangsa seperti yang tercantum di alnea ke - 4 UUD 45 benar benar diwujudkan oleh pemerintah berkuasa.
Salamsalaman
TD
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H