Pertimbangan The right man in Wrong place sebagai satu kaedah manajemen modern sangat tepat diterapkan untuk memilih seorang pemimpin di Jakarta. Tentu tak elok dalam memimpin satu kawasan yang sangat heterogen terjadi terlalu banyak reisitensi terhadap Ahok. Hal ini bisa terjadi seandainya ada pemaksaan dari pihak tertentu yang ingin tetap mendudukan lagi Ahok di posisi Gubernur Jakarta. Â
Penolakan terus menerus itu tentu akan menganggu Gubernur dalam menjalankan tugas. Â Alangkah baiknya seorang seperti Ahok di berikan kewenangan yang lebih cocok dimana dia bisa diterima dengan senang hati di komunitas tersebut. Yes dibuang sayang demikian ungkapan pantun dari orang melayu. Â Ahok asset nasional adalah suatu keniscayaan yang tidak terbantahkan.
Tanpa mendahulu pemikiran Pak Jokowi yang sudah paham benar dengan kinerja Ahok, mungkin posisi Menteri Pemberdayaan Aparatur  Negara sangat pas untuk Ahok.  Bisa juga posisi Menteri ESDM yang masih kosong di percayakan kepada Ahok sesuai dengan latar pendidikan seorang insinyur.  Nah seandainya pemikiran ini terwujud maka baru bertemu padanan kosa kata The right man in the right place.
Point yang ingin saya sampaikan disini adalah kedudukan  Pilkada Jakarta sebagai sarana pembelajaran demokrasi biarlah bergulir apa adanya sesuai peraturan perundangan.  Apapun keputusan warga Jakarta ketika mencoblos di kotak suara siapa yang tahu (kecuali mereka dan Tuhan).  Takdir akan mengajarkan kepada kita bahwa siapapun yang terpilih menjadi  Gubernur Jakarta 2017-2022 itulah pilihan rakyat.  Bukankah bisa dikatakan bahwa pilihan Tuhan Yang Maha Esa adalah juga pilihan rakyat. .
Salamsalaman
TD
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI