Memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia selalu dihubungkan dengan kisah-kisah tentang berhenti merokok. Setiap orang terutama kaum lelaki hampir dipastikan mengenal rokok, baik sebagai pengisap atau hanya sebagai pengamat. Para pengisap tampaknya sangat menikmati sebatang rokok sampai sampai lupa dia sedang berhadapan dengan masalah kesehatan dirinya.
Masalah tembakau yang kemudian beralih kepada rokok paling tidak berkaitan dengan beberapa kepentingan. Baik kepentingan tentang penghidupan asap dapur atau sektor bisnis serta harapan pemerintah atas cukai rokok. Jalan tengah untuk mendamaikan faktor-faktor ini terkendala kepada masalah tenaga kerja yang katanya mencapai jutaan orang. Di pihak manusia yang peduli terhadap kesehatan terutama untuk generasi muda merokok menjadi masalah sangat serius.
Ratusan tahun masalah rokok ini belum selesai juga antara kenikmatan dan bahaya mengancam kesehatan. Walaupun di bungkus rokok sudah ditampilkan ilustrasi gambar tragis akibat merokok, sang ahli isap tetap saja tidak terpengaruh. Entah kiat apalagi yang perlu dicari agar para perokok itu kapok sebenar-benarnya kapok, Kisah nyata berikut ini kiranya bisa dijadikan salah satu referensi bagaimana saya berhenti sontak merokok secara tiba-tiba dan tidak merokok lagi sampai hari ini.
Terus terang saya dulu perokok berat. Itu sebelum menikah sampai dikarunia seorang anak. Merokok di kantor, di rumah di mana pun saya lakukan kecuali ketika sholat dan tidur. Asap rokok mengepul di seantero rumah. Istri pusing bagaimana mau menghentikan kecanduan merokok sang suami. Rokok kretek si biru menjadi idaman. Apabila disodorkan rokok putih filter sepertinya  tidak suka mengisap rokok modern itu.  Tahun 1980-an ketika sedang asyik-asyik belajar komputer, rokok dan kopi jadi teman setia dalam mempelajari alat elektronik yang mulai merambah perkantoran.Â
Tiba-tiba ananda putra pertama datang menghampiri kami. Dia barulah mulai pandai berjalan, berusia sekitar 18 bulan. Like father like son. Si anak memperhatikan dua orang dewasa sedang asyik menikmati aroma rokok. Kemudian ananda tercinta mengulurkan tangannya, dia mengambil puntung rokok di asbak. Entah siapa yang mengajarinya, si ananda mulai mengisap puntung rokok itu.
Saya terkejut, secara refleks menepis tangan kecil ananda. Dia terkejut dan langsung menangis. Menangis sambil memandang wajah ayahnya. Mungkin dia heran kenapa papanya marah, melarang dia mengisap rokok, padahal ayahnya boleh merokok. Ananda kemudian berlari ke belakang. Dia tetap segugupan mengadu kepada ibunya. Sekejab terdiam. Sang sobat juga terkesima melihat reaksi refleks tadi. Padahal, refleks menepis tangan ananda itu datang tiba-tiba saja. Inilah naluri ingin melindungi ananda tercinta. Melindungi dirinya dari rokok yang berbahaya.
Saya lama termenung. Sang sobat permisi pulang karena suasana tidak mendukung lagi untuk melanjutkan cerita lama. Masih terduduk di ruang tamu. Berdiam diri, sementara isakan tangis ananda masih sesekali terdengar dari ruang makan. Ibundanya membujuk sambil menggendong annada. Tak pernah selama ini memarahi, apalagi memukul tubuh ananda. Tetapi kenapa hari itu peristiwa refleks menepis tangan kecilnya awak lakukan secara tidak sadar.
Seketika timbul pikiran bahwa rokok itulah penyebabnya. Saya berdiri mengambil semua batang rokok yang tersisa, langsung menghancurkannya berlumat-lumat dan kemudian mengempaskan si rokok jahanan itu ke tong sampah depan rumah. Saya masuk menghampiri anada. Dia terdiam memandang wajah ayahnya. Ambil dari pelukan ibunda, saya peluk sangat erat. Ananda berhenti menangis. Lama awak gendong ananda. Tampaknya tepisan tangan itu telah melukai hati ananda.
Saya harus membayar kesalahan ini. Ananda tak lama tertidur, mungkin dia mendengarkan detakan keras jantung ayahnya yang kuatir dan perasaan menyesal. Awak pandangi wajah ananda putih polos. Ananda tidak berdosa. Ayahlah yang khilaf. Ananda letakkan di buaian tidur. Inilah momen saatnya untuk menghentikan kebiasaan merokok.
Peristiwa bersejarah menyangkut kehidupan yang ditandai dengan tepisan tangan kepada anak tersayang. Saya berjanji kepada diri sendiri mulai malam itu sampai kapan pun tidak akan menyentuh racun dunia perusak organ paru-paru tubuh manusia. Teman-teman sekantor merasa heran ketika mereka menyodorkan rokok awak tolak dengan halus.
Sungguh berat cobaan untuk menghindari diri dari si jahanam ini. Namun, lambat laun awak terbiasa dengan selalu membayangkan peristiwa menepis tangan anak. Alhamdulillah sudah hampir 35 tahun awak tidak mengisap rokok. Minum kopi pun sesekali saja. Bukan soal menghemat keuangan, tetapi ternyata dengan kondisi kesehatan paripurna tanpa asap rokok awak masih sanggup berolahraga tenis lapangan sampai saat ini tanpa tersengal sengal kehabisan napas. Inilah nikmatnya kesehatan. Kata orang, "Kesehatan itu bukan segalanya, namun tanpa kesehatan semuanya menjadi tidak berarti."Â
Salam-salaman Â
TD
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H