Mohon tunggu...
Thamrin Dahlan
Thamrin Dahlan Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang Purnawirawan Polri. Saat ini aktif memberikan kuliah. Profesi Jurnalis, Penulis produktif telah menerbitkan 24 buku. Organisasi ILUNI Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Mott Menulis Sharing, connecting on rainbow. Pena Sehat Pena Kawan Pena Saran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Ketapels Berjaya] Lebih Suka Disebut Tuli Daripada Tuna Rungu

17 April 2016   13:02 Diperbarui: 17 April 2016   14:24 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Dokumen R Gaper Fadli

Inilah kalau kuper.  Kurang pergaulan maksudnya.  Soal yang sudah dianggap final ternyata masih harus di tanyakan kepada si empunya sebutan.  Begini.  Ahad, 10 April 2016 awak mendapat undangan agar hadir di acara Ketapels.   Ini adalah komunitas kompasianer yang bergabung di kawasan Tanggerang Selatan. Ketapels dalam program kegiatan berkesinambungan  memiliki kepedulian luar biasa terhadap masalah Lingkungan dan Sosial Budaya. Bukan saja soal  sampah  di wilayah Ibu Airin namun soal saudara saudara kita yang dalam keterbatasanpun mereka angkat ke permukaan.

Awak terhenyak setelah mendengar penjelasan Ibu Pingkan C. R. Warouw, Ketua Inasli (Indonesia Sign Language Interpreter) yang mengungkapkan bahwa komunitas Tuna Runggu sendiri lebih suka di sebut Tuli.  Ya Tuli itulah nama abadi yang memang sudah ada di Indonesia untuk saudara saudara yang yang ditakdirkan memiliki kekurangan pada indra pendengaran.  Ibu Pingkan mengatakan apa pula itu tuna rungu, mereka menganggap apabila disandangkan istiah yang kelihatannya sopan itu seolah olah  istilah Tuna itulah yang sebenarnya  tidak mereka suka karena sepertinya merendahkan.

Tak hendak menyoal bagaimana para pemangku wewenang zaman  dahulu yang sedang senang senangnya memakai kosa kata Tuna.  Lihat saja ada Tuna Wisma, Tuna Susila, Tuna Netra dan Tuna  tuna lainnya. Kecuali Ikan Tuna. Dalam kaedah Bahasa Indonesia Tuna bisa di maknai sebagai satu ungkapan kekurangan sampai pada level fatal.  Padalah saudara saudara kita yang memiliki keterbatasan panca indra itu tidak maksimal dalam keterbatasan.  Artinya mereka tidak 100 persen dalam kekurangan, masih ada sisi sisi lain yang bisa dikembangkan.  Bukankah Tuhan Yang Maha Adil selalu memberikan suatu kelebihan di bidang lain ketika ada kekurangan pada fisik anak manusia.

Ya sudahlah, sebagai awam yang tak paham istilah ini, awak dapat menerima alasan dan pemikiran serta pertimbangan dari para penyandang keternatasan di indra pendengaran.  Sebutan Tuli lebih mereka suka dan dirasakan nyaman dari pada istilah Tuna Rungu yang bisa ditasbihkan sebagai ketidak berdayaan.  Padahal keterbatasan itu sebenanya bisa di berdayakan oleh komunitas Finger Talk misalnya yang berlokasi di Jalan Pinang Nomor 37 Pamulang Timur Tanggerang Selatan.

Satu pengalaman mengharukan dirasakan ketika menyaksikan saudara saudara kita berkomunikasi dengan cara mereka sendiri.  Ya keterbatasan dalam komunikasi itulah yang menjadi ajang untuk pemberdayaan Komunitas Tuli.  Dunia mereka seolah hampa dan sepi tanpa ada kepedulian dari para pihak yang mempunyai hati  untuk membuka atau meretas kendala keterbatasan itu.

Sosok Dissa Ahdanisa, pemilik Fingertalk Deaf Cafe & Workshop  memang luar biasa.  Di kafe terlihat nyata hasil kerja keras Dissa yang di support penuh oleh keluarga besar untuk memberikan pekerjaan kepada Komunitas Tuli.  Kondisi mereka sebenarnya  sama saja dengan kita, kenapa tidak kita perhatikan dengan cara memberikan lapangan pekerjaan atau latihan ketrampilan sesuai dengan kemampuan masing masing.

Contoh baik ditampilkan oleh Ibu Pat Sulistyowati, mantan ketua Gerkatin (Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) seorang tuna rungu. Ibu Pat menjadi model dan tauladan bahwa keterbatasan tersebut ternyata bisa diatasi .  Terlihat Ibu Pat mampu berkomunikasi secara baik dengan siapapun.  Perjalanan panjang perjuangan Ibu Pat dalam membantu saudara saudaranya patut mendapat apresiasi. Inilah nilai nilai luhur dari Seorang Penyandang Tuli untuk sesama yang membuktikan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan jalan untuk mengatasi segala keterbatasan tersebut.

Point yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa kepedulian sekecil apapun yang dilandasi niat semata untuk berbagi adalah suatu amal kebaikan.  Kendala apapun yang dihadapi ternyata merupakan riak riak kecil yang pada gilirannya bisa diatas dengan cara tetap meluruskan niat untuk membantu sesama suadara yang di takdirkan memiliki keterbatsan. 

Hadir di acara Ketapels ini menghancurkan dan memporakporandakan semua kepongahan atas perilaku hidup selama ini. Sesungguhnya anak manusia yang di anugerahi kondisi normal tanpa kekurangan sesuatu baik dari segi fisik dan finansial mempunyai tanggung jawab sosial dan moral agar makna dari kehidupan itu semakin bermakna.  Bukankah orang di nilai baik secara alamiah  adalah orang orang bermanfaat bagi orang lain.

Salamsalaman

TD

 

 

 

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun