Buku dibuka dengan cerpen yang dijadikan judul buku. IZ mengibaratkan kepulangannya ke pangkuan Ibunda yang dia sebut sebagai Mandeh seperti  ditemukannya Unta yang hilang di tengah padang pasir. Betapa gembiranya Mandeh (orang minang menyapa Ibu, Mak, Bunda dengan istilah Mandeh) ketika mendapat kabar via telepon bahwa ananda tercinta akan pindah bekerja ke Bukittinggi. Kepulangan si anak rantau paling tidak untuk menepis kecek (celoteh) urang kampuang yang bergunjing, mana pula dia dirantau bekerja sebagai tukang Insinyur. Nyinyir orang kampung berlanjut, paling dia  berdagang di kaki lima seperti saudara perantau minang.
Batang Terendam itulah mungkin dendam si anak rantau. Kepulangannya akan membuktikan bahwa dia bukan orang biasa. Pulang kampung sepertinya mempunyai misi membangkitkan Batang Terendam sekaligus mengangkat harkat martabat kerabat sembari menepis anggapan profesi pedagang kaki lima. Dalam perjalanan menuju kampung halaman dan belum juga sampai di rumah, Mandeh berucap dalam telepon "sejak anak Mandeh mau pulang, semua "penyakit" sudah terbang jauh, nampaknya mereka semua takut sama waang "Â
IZ, kelahiran Bandar Lampung Tukang Insinyur. Karya tulis di kompasiana kemudian dijilid menjadi beberapa buku. Menurut penulis cerpen ini merupakan suatu tawaran manis getir kehidupan dan nano nano tentang cinta. Soal cinta bisa di baca beberapa bagian buku khususnya di halaman 55. Cinta yang datang terlambat. Setting tahun 1978, jumlah motor masih dapat dihitung dengan jari sebelah tangan, tidak ada bus kota AC. Ini dia kisah si  kondektur Buskota yang suka mangkal di Terminal Cililitan. Terima pesan dari Omak, segera pulang. Dia dipaksa menikah di kampongnya di Medan sana. Berkat patuh kepada Omak, si kondektur mendapatkan Lina istri tercinta.  Selanjutnya kehidupan sejahtera selalu menyertai berkat doa Omak.Â
Baik, mari kita baca halaman 170. Malaikat di Ujung Ramadhan.  Penulis menuturkan kisah seorang pedagang, Firman. Diujung ramadhan bulan nan penuh berkah itu Firman masih terdera oleh penderitaan. Sejak tadi pagi dagangan yang dijajakan belum satupun terjual.  Inilah satu satunya harapan untuk bisa membeli beras dan sekedar penganan buka puasa dan kalau bisa membelikan Aisyah putri tercinta baju dan sandal baru. Setelah menunaikan kewajiban Shalat Dzhuhur, malaikat itu datang. Seno yang dulu pernah membantu ketika musibah kecelakaan kembali menyambangi sekaligus melepas penderitaan panjang Firman. Ramadhan mengantarkan perubahan kehidupan Firman.
Itulah secuil contoh penuturan penulis dalam setiap cerpen. Ada saja kejutan dan kalau boleh dikatakan sebagai suatu mukjizat. Kehidupan mengalir terus dan IZ mampu mendaratkan setiap inspirasi dalam bentuk dokumentasi peristiwa demi peristiwa perjalanan hidup anak manusia.
Hampir di setiap cerpen pada buku MAK di sertai ilustrasi gambar. Â Gambar berupa lukisan draft itu membantu pembaca memaknai jalannya cerpen. Saya salut atas kekuatan pikiran dan kepanjangan nafas IZ dalam menekuni kemudian menuntun pembaca pada setiap nukilan cerpen. Tidak semua penulis bisa memiliki kesabaran luar biasa seperti ini.
Diperlukan kesabaran pula untuk menuntaskan membaca MAP. Membacanya saja perlu waktu bagaimana pula kehebatan IZ ketika menuliskan cerpen demi cerpen kehidupan. Memang tidak akan selesai dua tiga hari membaca MAP. Namun niat mengkhatamkan buku inspiratif urang awak di rantau ini setidaknya  menumbuhkan keyakinan bahwa banyak terdapat pesan pesan ke arifan dan filosofi kehidupan didalam sana.
Buku MAP akan di launching pada hari Selasa 12 Januari 2016 di Gedung Kompas Palmerah Barat.  Bersamaan dengan buku Mengembara ke Masjid Masjid di Pelosok Dunia karya Syed Taufik Uieks. Kedua buku ini diterbitkan oleh Peniti Media yang diawaki oleh kompasianer Thamrin Sonata yang sekali gus menjadi editor.
Salamsalaman
TD
Â