Ibunda Hj Kamsiah Binti Sutan Mahmud dan Ayahanda Haji Dahlan Bin Affan (Koleksi pribadi TD)
Tak punya sepatu
"Tidurlah Nak, jangan kau risau besok kita ke Jambi, kita beli sepatu ya."
Emak membimbing tanganku ke bale. Hari sudah malam, jam dinding di ruang tengah berdentang 12 kali. Aku memang tidak bisa tidur malam itu, risau memikirkan sepatu. Alas kaki yang bernama sepatu itu tidak pernah kumiliki. Enam tahun duduk di Sekolah Rakyat (SR) kami anak anak dusun tidak pernah menggunakan sepatu ke sekolah. Sekolah memang tidak melarang bertelanjang kaki ke sekolah, karena demikianlah kondisi sosial ekonomi warga Tempino Jambi saat itu.
Aku risau, tiga hari lagi mulai belajar di SMP, aku belum punya sepatu. Risau pertama adakah sepatu yang muat dengan ukuran raksasa kakiku, risau kedua apakah emakku punya uang untuk membelikan sepatu pertamaku. Semua anak laki-laki Dusun Tempino telapak kakinya besar-besar, kekar melebar ke kiri kanan dan memanjang. Telapak kaki itu kokoh, kuat, keras, kapalan, karena seumur hidup tak pernah dibungkus. Telapak kaki yang tak mempan dengan kerikil, duri onak hutan, jalan buruk berlobang, semua rintangan di jalan ditembus dengan berlari dan berlari berkaki telanjang.
2 minggu lalu kepala sekolah mengumumkan hasil ujian yang kami ikuti di dusun sebelah Bajubang. Bapak-ibu guru dan orang tua serta Kepala Dusun bergembira ria karena murid kelas 6 dari SR milik PN Pertamina Tempino Jambi dinyatakan lulus semua pada ujian negara. Kami ditanya, mau melanjutkan ke mana karena di kampungku tidak ada sekolah lanjutan. Bapak dan Makku berkata, "Angkau harus sekolah terus, masuklah SMP di Jambi. "
Seolah Mak paham jalan pikiranku soal sepatu, ibundaku orang minang ini tegas berucap, "Pecahkan tabungan, kita beli sepatu." Melanjutkan sekolah di SMP wajib bersepatu, timbul kegelisahan dialam pikiranku betapa malunya ketika anak-anak kota menertawai aku tak beralas kaki.
Pagi-pagi aku dibangunkan Emak, kami sholat subuh berjamaah, "Kita berangkat agak pagi agar bisa pulang menjelang asar."
Mak sudah berkemas dengan pakaian kebaya melayu dan selendang. Tadi samar-samar Mak bercakap serius dengan Bapak, kemudian terdengar seperti barang dibanting. Oh ada apa gerangan, ternyata Mak dan Bapak sepakat memecahkan kendi tabungan. Mak membawa tas, uang tabungan itu dililitkannya di saputangan besar kemudian dimasukkan ke tas tenteng. Kami sarapan pagi. Bapak Ayahanda Dahlan bin Affan asal Bengkulu memandangku tanpa berucap sepatah kata pun. Beliau memang pendiam. Kulihat Mak mengambil daun pisang di kebun depan rumah. Mak membungkus nasi dan lauk seadanya sebagai bekal makan siang nanti. Aku diam saja, menyaksikan kegesitan Mak.
Sepatu Bata