Kami keluarga sederhana dengan gaji Bapak yang pas-pasan. 2 orang kakakku Uda Syahrir (Buyung) dan Nurhayati sudah sekolah di Jambi, satu lagi Uni Husna kuliah di Universitas Sriwijaya Palembang, sedangkan adikku Yahya masih kelas 3 SR. Kami harus hidup prihatin, mendahulukan pendidikan daripada kepentingan yang lain. Setiba di Pasar Tempino, sudah menunggu beberapa mobil angkutan ke Kota Jambi. Aku dan Emak naik oto, sudah ada beberapa penumpang. Mak memilih duduk di ujung, aku dipangkunya, padahal masih ada tempat duduk kosong.
"Diamlah, jangan kau lasak."
Mak memangku diriku agar tak kena bayaran ongkos oto. Badan besarku dipeluk aku didudukkan di atas pahanya. Oto merek Chevrolet tua mulai bergerak menempuh jarak 27 km, jalan rusak berlubang menuju Kota Jambi. Kasian Emak, aku mau duduk di lantai oto saja, tapi Mak melarang, "Kotor nanti sarawamu."
Oto penuh sesak. Di tengah jalan banyak penumpang yang naik, ada yang bergelantungan di pintu oto. Kami tiba di Kota Jambi. Berjalan cukup jauh dari terminal antarkota ke pasar, padahal ada mobil angkot. Ada 1 jam kami berjalan. Bagi kami orang dusun, berjalan kaki adalah hal biasa, tak terasa penat sedikit pun. Mak mengajakku ke toko sepatu. Pilihan mamak toko sepatu BATA. Sepatu Bata kuat dan murah kata mamak. Penjaga toko melihat kakiku yang kekar tak beralas. Aku malu dipandang seperti itu. Kemudian dia mengambil contoh sepatu berwarna putih. Mak menyuruhku mencobanya, "Lap kakimu dulu Nak (aku memang tak beralas kaki, kakiku kotor berdebu)."
Setelah kucoba, oh sempit, masihkah ada yang lebih besar. Penjaga itu pergi ke gudang mengambil sepatu ukuran yang lebih besar. Akhirnya setelah berulang-ulang bolak-balik ke gudang, didapatkan juga sepatu yang pas, Mak membeli kaos kaki. Disuruhnya aku memakai sepatu, dan Mak berkata, "Cobalah angkau berjalan."
Anak dusun yang pertama kali pakai sepatu, canggung, rasanya seperti berjalan di atas permadani, empuk dan sangat nikmat.Â
"Pakailah sepatu itu sampai kita pulang, biar angkau terbiasa."
Tampak Mak melihatku tersenyum bahagia, menyaksikan betapa anaknya bernama Thamrin hilang kerisauannya semalam. Semua telah terbayar dengan kebahagiaan. Jadi juga aku sekolah di SMP Jambi pakai sepatu, tidak akan ada yang menyangka aku anak dusun. Gagah bersepatu seperti anak-anak kota. Aku berjalan berdongak kepala, bukan sombong tapi rasanya begini ya jadi orang kaya (sementara). Di sinilah letak bagaimana kenikmatan sempurna itu dirasakan ketika kebahagiaan itu datangnya dicicil Tuhan Yang Mahakaya.
Kami keluar toko, menuju pasar. Mak membeli beberapa kebutuhan dapur. Matahari mulai naik sepenggalah, terasa lapar dan haus. Mak mengajakku mampir di salah satu kedai di kaki lima. Mak memesan 2 gelas air putih kemudian membuka bekal nasi yang tadi dibawanya. Penjaga toko tersenyum, dia tahu kami tak akan membeli nasi di situ, hanya menumpang duduk. Mak menyuruhku makan, dibiarkannya aku makan dengan lahap, maklum masa pertumbuhan makanku banyak, Mak menyelesaikan suap terakhir bersamaan dengan azan Dzuhur.
Pesan Mak
Sembari berjalan pulang Mak berpesan kepadaku, "Angkau rawat sepatu ini baik-baik, 3 tahun sekolah di SMP cukuplah satu pasang sepatu. Jangan kau gunakan selain pergi ke sekolah. Kalau berjalan angkat kakimu, jangan diseret nanti cepat habis alas kakinya. Cuci sepatumu seminggu sekali, Amak takkan membelikan lagi sepatu baru sampai angkau tamat SMP. Kita orang tak berpunya, sekolahlah yang rajin."