[caption id="attachment_323433" align="aligncenter" width="292" caption="sumber : republika.co.id"][/caption]
Polemik antara pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung dengan Pilkada by Dewan Perwakilan Rakyat akhir akhir menjadi berita utama. Para pihak yang mengatakan bahwa pilkada langsung adalah kemunduran demokrasi bisa dipahami. Namun istilah kemunduran demokrasi tu hendaknya di tinjau dari sisi yang mana.
Menurut hemat awak istilah mundur itu menjadi absah ketika kita salah jalan alias kesasar.  Dari pada meneruskan perjalanan ke arah yang tidak menentu maka ada baiknya mundur atau balik arah.  Mundur ke start point atau dipersimpangan mana terjadi salah jalan itu untuk selanjutnya melangkahkan kaki ke arah tujuan yang benar.
Seyogyanya pilkada langsung yang diselenggarakan sebagai salah satu amanat reformasi ternyata banyak menuai masalah. Sejujurnya rakyat kita belum siap pilkada langsung bersebab tingkat pendidikan rata rata yang masih rendah sehingga dengan kondisi demikian para penghasut (provokator) akan mudah membenturkan sesama rakyat dalam perseteruan fisik yang terkadang menimbulkan korban harta dan jiwa.
Seperti kata Effendi Gazali pakar komunikasi, pilkada langsung sering diperuncing oleh penawaran jasa konsultan konsultan politik yang semakin marak di era pilkada langsung. Tentu saja jasa konsultan itu tidak gratis, ada senilai rupiah yang harus disiapkan calon. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan biaya demokrasi semakin tinggi dan buntutnya para terpilih itu, apakah dia Gubernur, Bupati atau Walikota harus mengembalikan dana yang dikeluarkan dalam proses pilkada langsung dari APBD yang berbuntut korupsi. Data membuktikan diatas 80 persen produk pilkada langsung untuk oknum terpilih itu terlibat tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu ada baiknya istilah kemunduran berpolitik itu terutama pada agenda Demokrasi Indonesia dilihat dari sisi positif. Mundur bukan berarti kalah atau bodoh, namun mundur selangkah karena salah jalan lebih baik dari pada kebabalasan mengikuti arah demokrasi yang salah dan terbukti menimbulkan korban.
Variabel penghematan pilkada by dewan memang signifikan namun yang harus dipikirkan lagi adalah huru hara yang ditimbulkan akibat pilkada langsung itu lah yang mengancam persatuan anak bangsa. Rakyat dibenturkan dalam satu kawasan yang tadinya mereka berdamai. Kondisi semakin panas ketika issue issue SARA dijadikan motif untuk memecahkan bangsa.
Nantilah pilkada langsung dilaksanakan apabila tingkat pendIdikan rata rata rakyat sudah menamatkan sekolah menengah atas. Dalam kondisi kualitas pendidikan SMA seperti itu rakyat semakin cerdas dalam memilih pemimpin. Warga tidak akan terpancing oleh kampanye subjektif dan ujung ujungnya sosok kandidat yang terpilih benar benar pemimpin atas kehendak rakyat.
Salam salaman
TD
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H