[caption id="attachment_353435" align="aligncenter" width="436" caption="SDP (MAHAKA)"][/caption]
Melawan Logika
Tidak banyak Film Indonesia yang mengangkat masalah politik di dua dekade pasca reformasi. Entah bersebab apa, namun keberanian Produser berjudi dengan genre politik ditengah “larisnya” film melodrama dan mistik tampaknya perlu diberi apresiasi. Tentu saja apresiasi itu baru bisa diberikan setelah menonton film : 2014, Siapa Diatas Presiden (SDP)
Atas prakarsa Admin Kompasiana, beberapa kompasianer di undang untuk menyaksikan film di theater 2000 Gedung Fx Sudirman, Kamis 26 Februari 2015. Keinginan saya menyaksikan film ini terutama karena ada kosa kata Presiden di judul film. Anda tahu sendirilah bagi seorang penulis atau warga seperti saya Presiden adalah nilai jual menarik untuk menuntun penonton menuju gedung bioskop. Siapapun sosok presiden Indonesia di film ini akan menjadi pusat perhatian ditengah hiruk pikuk memperbincangkan pola kepemimpinan Jokowi.
Ini awalnya saya mendaftar menjadi salah satu peserta nonton bareng sebagai salah satu dari sekian banyak tawaran kopdar kompasiana. Pemutaran perdana dihadiri oleh sebagian pemeran dan sutradara film SDP dan Produser. Ketika berbincang dengan Mas Hanung sang sutradara kami menanyakan kenapa memilih topik politik di film ini. Hanung tersenyum, menjawab dengan bijak , nantilah saya jawab setelah rekan rekan tuntas menonton. Ibu Celerina Tjandra Judisari sebagai produser berkata dengan berdebar saya menunggu bagaimana komentar sobat kompasianer.
Saya mulai sinopsis ini secara utuh terlebih dahulu, nanti akan saya urai satu demi satu secara rinci scene aksi dan dialog. Terus terang selama lebih kurang 110 menit menyaksikan SDP, saya tetap dalam mata terbuka sedikit melotot, tidak ada rasa kantuk di malam Jumat. Hal tersebut saya sadari setelah happy ending calon presiden Bagaskoro menyampaikan pidato kemenangan di taman. Mohon maaf sebelumnya tanpa mengurangi rasa hormat kepada film Indonesia selalu kejar tayang berdasarkan hari libur sekolah dengan kualitas seadanya. SDP digarap selama 2 tahun dan bolehlah diberikan dua jempol kepada karya insan film Mahaka telah berhasil menyita perhatian penonton dari awal hingga akhir film.
Pemilu
Topik utama SDP adalah suasana hangat politik menjelang pemilu. 3 orang kandidat presiden bersaing ketat merebut hati rakyat dengan caranya masing masing. Suasana politik semakin tegang dengan semakin dekatnya hari H. Perpindahan scene yang ditampilkan melalui tampilan menjelang 60 hari terus menjelang 30 hari serta menjelang 3 hari sungguh merupakan salah satu keunggulan film ini. Artinya suasana tegang itu di rancang dan balut dengan sempurna sehingga seolah olah para penonton terbawa emosi dalam setiap konflik yang terjadi.
Tidak ada kawan sejati yang ada adalah kepentingan sejati tampak sekali dalam SDP. Intrik politik terpusat bagaimana cara merebut kekuasaan tertinggi jelas sukses di tampilkan sutradara. Jebakan politik berupa tuduhan pembunuhan kepada seorang kandidat di olah sedemikan rupa sehingga penonton yang telah tahu bahwa intrik jebakan itu sempurna. Penonton larut goyang emosi melihat kejahatan lawan politik baik secara terbuka maupun secara mafia dalam menghabiskan nyawa saingan.
Bahkan oknum penegak hukum seperti yang sering terdengar akhir akhir ini terlibat dalam perebutan kekuasaan jelas terpapar di SDP. Kekuasaan adalah meghalalkan segala cara sehingga pembunuhan karakter bahkan jiwa menjadi hal yang biasa dalam dunia politik. Jadi ada perbedaan yang jelas antar penonton dengan public di film terhadap kasus jebakan pembunuhan tersebut. Suara rakyat yang menginginkan tokoh nasional terbaik tampil di pentas kepemimpinan nasional. Disini bermain kekuatan sosial media dalam membentuk opini publik.
Walaupun bumbu aksi dan hiburan di tampilkan di sela sela konflik, namun saya berani menyatakan bahwa benang merah politik tetap terjaga dalam alur perjalanan film dari awal hingga akhir. Bumbu aksi menawan dalam bentuk benturan fisik yang dilakon suami istri (dunia nyata ) mampu menghapus citra “halus” sang Polwan yang bersikap sempurna “siap komandan” sangat apik diperankan oleh Atiqah Hasiholan. Demikian pula tampang sadis tanpa banyak dialog bahkan nyaris tidak pernah berbicara sepanjang film berhasil diperankan Rio Dewanto.