Obituari:Â
Suara tawanya khas. Sehingga mengguncang kacamata tebalnya. Seperti saat ia berteriak, meneriaki aku dari kejauhan di kawasan Jalan Malioboro, Jogja. Tangannya dilambaikan ke atas. Menyambutku dengan gegap-gempita.
"Piye kabare, Mas Thamrin!" sapanya, saat ia memegang pengeras suara di sela-sela break syuting film Daun di Atas Bantal garapan Garin  Nugroho, akhir sembilan puluhan, suatu malam.
Kami pun saling bersalaman ala komando. Orangnya rame, walau penampilannya klasik dengan kacamata pantat botolnya.
Muhammad Abduh Aziz, pekerja film lulusan UI Jurusan Sejarah berpulang ke Rahmatullah, karena serangan jantung dalam usia 51 tahun, Minggu malam. Saya baca di tweet Mas Goenawan Mohammad, yang menyebutnya: Telah meninggalkan kita, dengan tiba2: Abduh Aziz. Dia bukan hanya direktur Perusahaan Film Negara. Bukan hanya orang film. Tapi juga seorang yg berjuang utk kemajuan kebudayaan kita. Inalilahi wa innailaihi roji'un.
Lelaki yang pernah menjadi anggota DKJ (Dewan Kesenian Jakarta 2006-2012) Â bergelut di dunia perfileman cukup lama. Hingga persilatan film tingkat nasional. Ia Mantan ketua Festival Film Indonesia 2011 ini menjadi Konsultan di Metro TV untuk Program Eagle Awards Documentary Competition pada 2005-2011. Abduh menjabat sebagai Direktur PFN sejak 2016 lalu.
Bagiku, yang kupanggil Abduh -- jauh lebih muda -- ini berkutat soal film memang kawan yang humble. Pekerja keras, pekerja cerdas dan humoris. Gampang dihubungi dan akan membantu teman dengan senang hati. Termasuk memberikan nomor telepon yang sedang kucari dari kalangan perfileman, dan tambahan latar belakang orang yang akan kuhubungi sebagai nara sumber -- karena aku dalam posisi orang media. Â
"Jadi apa yang bisa aku bantu, Mas?" katanya melanjutkan pertemuan di arena syuting di Kawasan Malioboro itu, dua puluh tahun lalu.
Aku yang saat itu ikut di Kabar-kabari, infotainmen pertama, sangat terbantu dalam meliput produksi SET yang digawangi Garin dan termasuk Abduh. Ia bisa membantu informasi apa saja, meski untuk hal yang berbau "jangan dikabarkan" alias off the record. Aku pun mengerti, faham. Karena itu arti persahabatan. Mana sebagai sahabat mana sebagai profesional.
Saat kami berada di Kalimantan Timur (2002) untuk sebuah acara membahas TV komunitas, Abduh denganku sambil berenang di kolam renang hotel bercerita apa saja. Bahkan mendapukku untuk membantu teman-teman SET dan Garin Nugroho menjadi "nara sumber" tambahan. Waktu itu karena aku mengelola TV di Pemalang, kota kelahiranku.
"Mas Thamrin sedikit kesakitan, Mas Garin," telepon dia dengan Garin Nugroho ketika kami dalam perjalanan dari Balikpapan ke Samarinda melanjutkan workshop. Menceritakan dengan humor soal aku terguncang-guncang di bis rombongan melintasi Bukit Soeharto, dan dibalas Garin dengan tak kalah bercanda. Bahwa kenapa mesti membawaku yang dianggap sudah tidak muda. "Lha, wong kowe ngajak orang tua," sahut sutradara itu. Â Â
Sebagai orang film, Abduh cukup faham seluk-beluk perfileman, termasuk untuk jalur film yang kerap diputar terbatas semisal di kampus-kampus atau LSM di dalam maupun di luar negeri. Tak ayal, ia didapuk menjadi dewan juri layar lebar, feature atau film-film pendek. Dan ia akan selalu siap jika aku membutuhkan info apa saja. Hingga kemudian kudengar ia menjadi Direktur PFN di Jalan Otista, Jakarta Timur.
Selamat jalan, Abduh! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H