Lampu sebuah mobil dijadikan kode. Tapi sebuah mobil mewah warna merah yang bukan mobil Bu Benny. Ah, jangan-jangan mobil barunya. Bu Benny yang dinikahi oleh seorang lelaki baik dan kalem, Benny Ramdhon. Ia sendiri bernama Ratri Kusumaningrum. Dulu, aku memanggilnya Ratri.
"Selamat sore, Dik Ning," Bu Benny menjulurkan kepala ketika kaca mobil diturunkan.
"Sore...," sahutku. Dan bergegas ke pintu belakang mobil merah itu, mengikuti arahan Bu Benny. Pintu terbuka sebelum aku menggapainya. Lalu dari arah dalam, terdengar suara orang bersalam. Suaranya bariton. Khas.
"Selamat sore, Dik Ning."
Aku mengernyitkan kening spontan. Apa-apaan ini?
"Ayo, masuklah, Dik Ning," kata Bu Benny mengingatkan. Karena ada bunyi klakson dari arah belakang.
Mobil berjalan dengan halus. Mesinnya terasa sangat lembut. Goyangan tak terasa. Kecuali debar jantungku. Berdetak-detak dan ingin kuatur agar tidak bergoyang terlalu keras. Tak menimbulkan rasa nyeri.
"Kita ke arah mana, Bu Benny?" tanyaku. Itu pertanyaan paling tepat karena mobil tidak membelok ke arah Bumi Perkemahan Cibubur. Meski sudah disebutkan Bu Benny jika acara buka bersamanya itu bukan di Cibubur.
"Serpong."
"Serpong?"
"Ya, Dik Ning," lelaki di sampingku yang menjawab. Aku menghela nafas. Ini sebuah persekongkolan yang sudah diatur dengan apik. Antara Bu Benny dengannya. Lelaki ....