Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan featured

Mengapa Saya Menerbitkan Buku?

17 Mei 2019   17:00 Diperbarui: 4 September 2019   17:11 911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Novel anak-anak saya terbit tahun 1994 (foto: dokpri)

Pada pertengahan enam puluhan, saya belum mengenal buku. Saya masih TK. Saya belum bisa membaca. Namun, saya dipilih menari berpasangan dengan siswi (lupa namanya).

Lingkungan saya, dalam hal perbukuan cukup mendukung. Terutama dari Uwak  saya yang tidak punya anak. Mungkin itu sebab saya dimanja olehnya.

Hampir tiap malam, saya diajak Uwak nonton film di gedung bioskop. Filmnya selalu berganti. Bahkan ketika berkunjung ke Pekalongan (berjarak 34 km) dari Pemalang tempat tinggal kami, saya diajak nonton film di gedung bioskop.

Bacaan Ringan  

Saya tinggal di Kota Pemalang, dan hanya bilangan sepelemparan batu dari terminal bis rumah kami berada. Dari situlah, saya mulai mengenal buku, saat duduk di kelas tiga SD. Persisnya komik.

Saya baca komik fantasi dari tokoh-tokoh:  Godam, Gundala Putra Petir, Laba-laba Merah, sampai silat semisal Si Buta dari Gua Hantu Panji Tengkorak, Pendekar Bambu Kuning dan semacamnya. Di situl jugalah saya bersinggungan dengan majalah hiburan.

Dan bahkan pada tahun 1971 saya sudah membeli majalah musik Aktuil -- yang diasuh di antaranya Remy Silado. Saya mengenal musik cadas Deep Purple, Led Zeppelin, ELP, The Who, dan memasang poster-poster grup Inggris yang mendominasi Amerika waktu itu.

Pada kelas enam, mulai menyukai buku silat Kho Ping Hoo. Pendekar Pulau Es dengan jagoannya Suma Han yang berkaki satu dengan rambut riap-riapan, melekat. Termasuk Bu Kek Siansu yang sakti luar biasa. Sehari bisa menghabiskan 4 jilid buku kecil berhalaman 64 atau 72.

Jadi, berjenjang saya kemudian mengenal buku. Dari yang ringan (hiburan) hingga kemudian yang rada mengernyitkan kening. Padahal, saya sekolah teknik, sebelum kemudian diiming-imingi kuliah di Publisistik (Komunikasi) di Semarang.

Saat itulah saya menulis cerpen pertama kali. Dan dimuat di Mingguan Jakarta: Simponi (koran berhaluan banteng) hehehe. Judulnya Putri Gunung.

Akhir tahun 79 dan awal 80 ke Jakarta. Ditenteng oleh Bung Smas -- yang memenangkan lomba menulis Novel Cinta Seorang  Penakluk -- yang kemudian difilmkan menjadi Gadis Penakluk. Kemudian hari, ia menulis sejumlah skenario untuk sinetron. Sorga di Telapak Kaki Ibu, hingga Kedasih yang panjang episode.

Ia, pengarang tetangga sebelah rumah di Pemalang. Seorang redaktur di penerbitan di Jakarta. Di situlah saya nyantrik. Menulis dan melay-out mingguan yang diasuhnya. Rubrik anak-anak.

Buku Pertama
Dalam waktu setahun, saya yang mengerjakan lay out dan edit di tempat kerja penerbitan bersama Bung Smas, pindah ke penerbitan majalah anak-anak, berdua dia. Menjadi redaktur. Tahun 1981. Tutup.

Lalu saya ditarik ke penerbitan buku (di perusahaan yang sama). Bukan menjadi penulis, tapi sebagai bagian artistik untuk buku-buku. Persisnya lay out, di era jadul. Judul menggunakan rugos atau letteraset. Huruf yang digosok untuk judul.

Di situlah, tahun 1982 buku pertama saya terbit. Ya, kesempatan lebih mudah karena saya kan bagian dari dunia penerbitan. Pemilik penerbit itu adalah Ketua IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) Pusat.

Buku Novel anak-anak saya terbit tahun 1994 (foto: dokpri)
Buku Novel anak-anak saya terbit tahun 1994 (foto: dokpri)
Ilmu menerbitkan buku (sejak menulis, mengedit hingga melay out) sudah saya punya. Lebih dari tiga puluh lima tahun lalu. Namun menjadi penerbit, belumlah. Karena modal yang besar menghadang. Bisa dibilang ya di Kompasiana ini mulainya.

Ceritanya ketika Moch Khoiri, dosen Universitas Negeri Surabaya ngojok-ngojoki untuk menerbitkan kumpulan tulisan teman-teman Kompasianer.

Tidak mudah untuk meyakinkan teman-teman. Istilahnya, menghubungi mereka yang kira-kira bersedia dan sudah "bisa menulis".

Jadilah buku pertama 36 Kompasianer: Merajut Indonesia, dengan kata pengantar Pepih Nugraha. (Kelak Kang Pepih banyak menulis kata pengantar untuk buku terbitan yang saya asuh).

Tonggak sebagai penerbit buku pun menjelma di sini. Meski buku indie. Buku yang diterbitkan secara mandiri. Terutama dari teman-teman Kompasianer.

Meski, dalam perjalanannya, menerbitkan buku dari peserta pelatihan menulis yang saya lakukan bersama Isson Khairul (mantan redaktur Majalah Gadis) di beberapa kota: Majalengka, Cianjur, Bekasi, Bengkalis, Cilegon, Bogor, Bandung dan kota-kota lain.

Sembari merangkul mereka untuk berliterasi. Terutama bagi guru-guru yang dipacu untuk berkarya tulis. Sekaligus untuk jenjang kepangkatan (KUM) bagi mereka. Buku yang terbit ber-ISBN dan Barcode.

Tidak ujug-ujug, memang. Bahwa menjadikan buku bagian dari keseharian saya. Menulis dan menerbitkan buku.

Pada saat menjadi editor, kerap merenung. Bahwa punya kepandaian memadai, namun belum tentu bisa menulis. Termasuk guru bahasa. Karena secara teori, guru bidang ini menguasainya.

Namun ketika mempraktekkan, lain lagi ceritanya. Semisal tanda baca titik dan koma atau tanda kutip untuk kalimat langsung saja tidak bisa ditempatkan secara benar dan tepat. Kadang, kalimatnya panjang. Beranak-cucu.

Senang juga menerbitkan buku secara indie bila kemudian karena materinya bagus, diambil oleh penerbit mayor. Artinya, teman yang menerbitkan buku di Peniti Media naik kelas.

Kata lain, relasi saya menerbitkan buku di penerbit mayor  seperempat abad lebih membuahkan hasil. Berguna. Mereka mendapat uang honor sebagai penulis profesional.

Kata Pengantar

Laporan Unesco, badan yang satu di antaranya menangani budaya, menyebut kalau dalam hal membaca bangsa kita payah. Hanya satu dari seribu orang Indonesia. 

Keprihatinan ini memacu untuk menampung teman-teman yang ingin membukukan tulisannya. Walau dalam jumlah yang minim. Ini mengingat dalam menerbitkan buku, semakin banyak (oplag) semakin murah ongkosnya. Namun di sisi lain, mereka pemula yang tidak mudah menjualnya.

Dalam soal menjual buku indie, tak ubahnya bergerilya. Ada yang menjual di kalangan mereka, keluarga dan komunitas. Juga kesempatan di media online. Hasilnya, luayan. Boleh jadi karena faktor hubungan emosional. Termasuk guru yang menjual di kalangan sekolah mereka.

Untuk mendongkrak penjualan buku dari teman-teman penulis pemula, kadang membutuhkan endorsement dan kata pengantar orang yang sudah punya bunyi untuk nilai jual. Sah. Sehingga saya kerap memberi pandangan, siapa yang sesuai untuk memberi kata pengantar. Relasi saya sebagai orang media (jurnalis) memungkinkan. Sehingga nama-nama bergengsi bisa saya jawil. Termasuk yang profesor atawa guru besar.

Ini sebuah strategi. Bahwa mereka yang menulis dan membukukan karyanya toh pengin eksis. Bukunya ber-ISBN dan Berbarcode sebagai keabsahan seorang penulis beneran. Meski soal penjualan adalah hal rumit berikutnya.

Buku, sesungguhnya sebuah monumen bagi penulisnya. Jejak panjang jika ia bukan siapa-siapa, seperti yang disebutkan pujangga Pramudya Ananta Toer. Sederet nama hebat, punya arti tersendiri dalam berkarya tulis buku. Dan Hari Buku Nasional 17 Mei ini, sebagai upaya meningkatkan marwah manusia berpikir. ***   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun