Arswendo Atmowiloto, selanjutnya Mas Wendo: "Masih nulis cerpen, Rin?"
Aku hanya tersenyum atawa tertawa mendengar pertanyaan saat bertemu dengannya. Ya, sebagai penulis Mengarang itu Gampang, lontaran guyon khas Mas Wendo. Maknanya, apa selama sekian waktu "berpisah" masih kreatif menulis fiksi berupa cerita pendek? Boleh jadi, disebabkan aku datang ke kantor redaksi Majalah HAI awal delapan puluhan menyerahkan tiga cerpen dan dua diterima satu ditolak.
Gedoran untuk kreatif dari Mas Wendo itu ada kelanjutannya: ikut saja lomba nulis "apa saja". Bukan soal menang atau tidak. Di situlah kita ditantang untuk disiplin, dan menulis. Meski tema yang sesungguhnya jauh dari minat kita .  Termasuk untuk menulis cerpen dadakan.
Awal Januari 2019 ini RTC (Komunitas menulis fiksi paling aktif di Kompasiana, utamanya) mengadakan lomba menulis Duka Indonesiaku. Dan aku ikut: ah, makanan lama -- lebih dari tiga puluh tahun lalu. Diganjar, lumayan. Sebagai yang dianggap baik alias menang.
Sebagai seorang yang awal menulis memang fiksi, persisnya cerpen, tantangan itu mengngatkan pelajaran dari Mas Wendo, si penulis Keluarga Cemara yang difilemkan, ulangan dari serial di layar kaca. Jika penulis tetap kreatif dan setia setiap saat. Kelajutan sebagai karya bertahan lama, dan masih relevan dengan kekinian, itu yang disebut karya yang baik.
Cerpen bertajuk: Buku Baru untuk Erni yang Rumahnya Ditiup Puting Beliung ditulis, ngasal. Tidak ada ide blas. Sempat mandeg di tengah jalan. Meski awal menuliskan dari menonton tivi. Saat di Rancaekek daerah Bandung tenggara diterjang angin yang menerbangkan atap rumah dan merobohkan tiang listrik, pohon dan baliho. Dan sejenisnya. Rentetan dari bencana di negeri ini, setelah Di Selat Sunda dan sebelumnya Palu.
Cerpen Buku Baru Erni itu, masihlah tersambung dengan pelajaran Mengarang itu Gampang-nya Mas Wendo. Jika sebuah cerita pendek, ada tokoh, setting dan konflik. Dan mesti tuntas sebagai sebuah cerita. Bahwa endingnya tertutup atau terbuka, itu soal pilihan seorang tuhan bagi cerita yang ditulisnya.
Saini KM, budayawan Sunda pernah menulis di koran Pikiran Rakyat. Bahwa sebuah cerpen (fiksi) di intinya pada pembentukan karakter tokohnya. Apakah itu tokoh pendiam dan pemberang, akan menemukan jalan ceritanya jika ada tokoh lain dengan karakternya yang (terutama) berbeda. Dari situlah konflik terbentuk dan kemudian ada akibat atau jalan cerita.
Bekal pelajaran mengarang seperti itu yang membuat aku tetap (alhamdulillah bisa) menulis setiap saat. Menghadapi mesin tik (computer atawa laptop) lebih dulu, lalu membaca sekeliling. Termasuk sumber informasi dari berbagai media. Naning Pranoto, kerap sengaja ke toko buku "untuk mencari ide" menulis karya berikutnya. Mencari pemicu, bisa di mana-mana dan dari mana-mana.
Sesungguhnya, ide kata Mas Wendo ada di mana pun. Di sekitar kita sendiri. Jika bacaan kita terhadap sekeliling tumpul, ya berlalu begitu saja. Sebaliknya jika kita bisa membaca, lalu membenturkan dengan imajinasi maka akan jadilah, termasuk dalam menulis cerpen. Bahwa ada pengalaman atau terlintas nama teman, kisahnya dan celetukannya yang ada di memori otak kita: itulah gunanya sebuah wawasan luas terbentang bekal seorang pengarang. Dalam bahasa WS Rendra: cret, cret ketika kita sedang berjalan dan ingin menuliskannya.
Aku masih menulis cerpen. Baik ketika tidak ada tantangan dadakan semisal event di RTC sekalipun. Karena ingin, ya sebagai penulis: menulislah. Bukan soal menang atau tidak. Sebab, karya itu sendiri adalah kemenangan kita merawat kreativitas. Dan, tentu, imajinasi itu mahal seperti disebutkan tokoh abad 20: Albert Einstein.