Cerita Minggu Pagi 89
Tak terlalu sulit mengeja hari-hari tanpa hujan di awal tahun pada Minggu pagi ini. Embun masih terasa, datang bersama angin pagi. Dirasakan olehku saat menuju parkir motor, akan pulang dari salat Subuh. Dilanjutkan dengan tausyiah oleh Ustaz Kamaluddin hingga matahari menerangi tanah di sekitar masjid. Â
Kuelap jok warna hitam pekat yang basah. Kustater mesin motor, dan kudiamkan untuk beberapa saat.
"Assalamualaikum ... Bang."
Kusahut dengan senyum, dan salam itu. Dan menugguinya berlalu lebih dulu. "Waalaikum salam. Silakan, Pak Son."
Ia berlalu, dan saya pun menunggu ia melewati pintu gerbang masjid. Pelan-pelan kujalankan motor, sambil sesekali membenahi sarung yang menyerimpet di bagian depan motor.
Aku tidak pulang, dan menuju warung Mpok Ani. Warung yang menyajikan masakan pagi: lontong sayur, nasi uduk dan semur tahu plus jengkol yang tak perah kupesan. Aku orang Jawa ya tidak menyukaiya. Buka soal bau setelahnya. Biasanya, memesan lontong setengah porsi dan disiram kuah sayur. Plus sepotong tahu berwarna kecokelatan.
"Sambal, Bang?" tanya Mpok Ani.
"Sedikit."
"Biasaya ...."
Aku tersenyum. "Ini nggak biasa. Hidup sedang pahit, Mpok."