Saat di Pemalang, saya bertelepon dengannya. Menggunakan bahasa Pemalangan -- yang ngapak mirip Tegal, bukan Banyumas.
"Oh, rika nang Pemalang. Mangan nggrombyang, ra?" tanya Mas Torro. Tanyanya, makanan khas Pemalang yang banyak bertebaran di sebelah utara alun-alun Pemalang. Makanan yang kerap diudapnya. Selain soto dekem.
Gayeng pembicaraan. Namun tiba-tiba dari HP-nya muncul suara manis manja. Ternyata Paramitha Rusady, merebut HPnya. Ia penasaran dengan bahasa kami -- saya dan Mas Torro. Dan Mitha pun (yang saya kebetulan kenal juga) mencoba berbahasa Pemalang. "Kiye inyong!" kata artis adik Ully Sigar Rosady.
Ya, Torro Margens asli Pemalang. Kelahiran Paduraksa, 6 km dari arah kota ke selatan di mana saya tinggal -- dekat alun-alun kota. Margens bukan nama sok-sokan, tapi justru cara ia menghormati ayah-ibunya. Margens itu singkatan Maryam (ibu) dan Genjor (ayah)nya. Namanya sendiri Sutoro. Tapi pernah ngomong pada saya: Arane sebenere Wustoro.
Mas Torro intens ke Pemalang ketika saya mendirikan TV Pemalang. Di mana ia mengisi acara, menjadi juri lomba akting, dan meresmikan perkumpulan peminat akting warga Kota yang diampit Tegal dan Pekalongan. Ia, tahun 2002 masih tetap dengan mobil Toyota kijang yang disebutnya sebagai mobil (untuk) syuting berjalan.Â
Karena di dalamnya penuh isi perlengkapan kalau ia syuting sewaktu-waktu: tas, sepatu, baju, sarung dan semacamnya. Sehingga kalau saya naik mobil tuaya itu, ia perlu membereskan dulu pakaian yang digantung dari rumahnya di Jati Kramat, Bekasi, tak jauh, sekira 1.5 km dari rumahku, di Jati Asih.
Sesugguhnya Mas Torro seorang pemain teater sejak remaja. Ke Jakarta hanya untuk menjadi aktor. Tidak lain. Ia penggemar film India, tak heran kalau bisa nyanyi lagu India. Di mana ia pernah bermain bersama Teater Populer-nya Teguh Karya dalam naskah-naskah serius, terjemahan lakon drama Rusia atau Eropa. Â Ia bermain bersama aktor berkelas Slamet Raharjo dan anggota Teater Populer.
Juga seorang sutradara yang bersertifikat, tahun 1980-an: Lukisan Berdarah. Dan salah satu tonggaknya ketika menjadi Tigor, sebuah TV Play TVRI menyambut Hari Sumpah Pemuda (1984). Di situ ia beperan sebagai pemuda Batak. Â Ia dipuji Mas Arswendo Atmowiloto untuk garapan sutradara TVRI yang menjadi satu-satunya televisi yang punya acara drama saat itu.
Setelah istri pertamanya meninggal, yang kerap diajak ke Pemalang, ia menikah dengan wanita asal Sukabumi. Di mana saya pernah diajak ke sana, di bilangan Jalan Bhayangkara, tak jauh dari rumah Desy Ratnasari.Â
Saat itu, saya menjembatani pertemuan dengan Mbak Amiroh yang akan mencalonkan sebagai Bupati Pemalang. "Inyong nurut sampeyan baelah, Kang,"Â katanya kepada saya saat diminta sebagai calon Wakil Bupati. Ia menurut apa kata saya dalam soal politik di daerah yang ditinggalkan hampir 40 tahun ke Jakarta.
Kebanggaan sebagai orang Pemalang membuatnya ditarik-tarik ke ranah politik itu, sampai memintaku ke rumahnya di Jati Kramat, ketika ada orang Pemalang yang akan mencalonkan diri sebagai Bupati. "Sampeyan mrene, ngancani inyong,"Â pintanya agar saya menemaninya saat akan dipinang sebagai calon wakil bupati.