Toleransi, kadang dan kerap dihadap-hadapkan. Atawa dibentur-benturkan. Soal agama, sosial, hingga masalah materi. Dan itu, juga ada di sekitar kita. Ya, di dalam satu keluarga pun, Â bisa intoleransi itu mencuat, kok.
Gus Dur bagus dan sederhana dalam memberikan gambaran masalah yang toleransi yang kemudian dikutipkan oleh Prof Mahfud MD. "Ibarat Anda hidup dalam satu rumah yang banyak kamar. Setiap orang atau keluarga mungkin punya kamar sendiri-sendiri. Ketika di dalam kamar masing-masing orang itu bebas. Ada yang pakai kaos, boleh. Sarung boleh, kemeja boleh, batik boleh, ulos juga boleh. Tapi ketika bertemu di ruang tamu, di ruang keluarga, hukumnya akan sama. Dan ketika keluar rumah, harus menjaga rumah. Memastikan rumah itu aman. Semuanya bertanggung jawab."
Rasanya kita boleh menggerakkan agar toleransi itu terjaga di negeri ini. Negeri yang beragam suku, bahasa dan agama yang kerap dimainkan oleh pihak tertentu -- ujungnya kerap sangat politis. Meraih kemenangan sebagai sebuah tujuan. Ini kurang etis. Terlalu murah sebenarnya kalau kita jujur dan berpijak pada nurani. Kita sudah biasa dengan gotong-royong.
Kita mencoba tak menyangkut-nyangkutkan secara berlebihan masalah yang super sensitif: agama. Karena itu menyangkut kepercayaan. Dan, selazimnya kita toleran di negeri yang tidak mono seperti Negara lain yang mutlak dengan syariahnya Islam.
Di Salatiga, seperti tergambarkan dalam tulisan Bambang Setyawan, cukup sudah kita memahami. Arti dari toleransi adalah kaum Muslim dan Nasrani. "Di mana, setiap hari raya Idhul Fitri serta hari raya Idhul Adha, warga beragama Islam menggelar shalat Ied di Lapangan Pancasila. Sebaliknya, Â di hari Paskah maupun Natal, gantian pemeluk Nasrani melaksanakan kebaktian bersama di lapangan yang sama. Itu berlangsung sejak tahun 1970," (In) Toleransi -- Thamrin Sonata, editor (2017).
Jika kita menilik Bali ada tempat ibadah yang tidak hanya Hindu saja, ada bisa kita belajar dari sana. Atau yang di pusat, Jakarta: Â Gereja Kathedral berhadapan langsung dengan Masjid besar Istiqlal. Di mana saat menjelang Natal, warga Muslim ikut menjaganya. Sedangkan selama Ramadhan ini, masjid besar di Asia Tenggara ini tiap hari menyediakan takjil dan makanan berbuka untuk umat yang mampir ke situ. Juga Lebaran yang sudah berlangsung bertahun-tahun dari Masjid dengan Sang Arsitek Frederich Silaban yang Protestan.Â
Serius, ya?
Padahal, dalam masalah toleransi, bisa menuliskan dengan cara sampeyan wae. Di sekitar kita, dan pengalaman yang pernah dirasakan serta dilihat dengan mata kepala sendiri. Sehingga tidak jauh-jauh, serta sebagai identitas solidaritas -- yang berarti toleran terhadap sesama dari orang-orang terdekat. Tetangga atau teman.
Bayangkan bila negeri ini terdiri atas lima ratus lebih daerah tingkat dua: Kota dan Kabaauapaten. Dan penulis tersebar di wilayah-wilayah yang punya tradisi berbeda-berbeda dan tetap menjaga toleransi. Alangkah kaya dan berwarnanya toleransi di negeri ini bila dikumpulkan dalam tulisan. Ketika dari masalah perut, makanan, maksudnya hingga masalah ritual-ritual yang bertujuan untuk keberagaman.
Inilah niat sebuah gagasan dan mengejantahkan dengan contoh-contoh yang ada. Biarkan itu menjadi mosaik dan kebhinekaan tiap warga dalam kehidupan sehari-harinya. Jika kita membacanya secara sederhana, seperti yang digambarkan Gus Dur di dalam keluarga untuk menyikapi sebuah toleransi yang menjadi bagian keseharian, apa kata dunia untuk soal yang satu ini? Taklah repot, sebenarnya. Niscaya.
***