Cerita Minggu Pagi 77
Suara takbir dan takmid itu bersahut-sahutan, di mana-mana dan dengan suara yang satu: mengangungkan kebesaran Allah. Sesekali terdengar suara bedug ditabuh dengan irama yang tak beraturan. Lalu lenyap dan menjauh, ke kanan. Dibarengi suara khas anak-anak.
Don masih duduk di ruang putih empat dinding. Hatinya terlindih ketika beberapa lama kemudian tak ada suara apa pun. Hingga ia hanya mendengar diri sendiri. Atau mungkin tidak, sama sekali.
"Aku ingin pulang," desisnya dan melenyap.
Sepi kembali menghujam dalam. Kelam saat lampu dimatikan. Ia tak bisa melihat jari-jemarinya. Hingga kemudian ia memegang kepala sendiri. Dihembuskannya nafas dalam-dalam.
"Lebaran sebentar lagi," desisnya, dan kemudian dibantah sendiri. Ini sudah malam lebaran. Aku mestinya sudah di pendopo. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan dengan kemeriahan yang terbaik untuk keluarganya. Dikelilingi segala macam parcel, yang di antaranya sirop-sirop manis terbaik negeri ini. Terutama yang berwana merah, konon dihasilkan dari daerah keras para warganya. Penuh perjuangan dalam kehidupan sehari-hari.
Ia tak bisa terhubungkan dengan siapa pun, dengan apa pun. Tidak juga lewat peralatan terbaik yang pernah dipunya. Yang dilapisi emas dengan suara jernih.
Dug, dug!
Ditinjunya dinding yang masih gelap. Lalu kepalanya dibenturkan. Blug!
"Setaaan ...!" serunya setelah merasakan sakit tangan dan kepalanya membentur dinding.
Ia pun terkapar. Diam. Saat siuman, ia menyadari masih dalam kesepian yang mendalam. Pelan-pelan, ia menyadari ini malam lebaran yang mesti dilewatinya.