Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Hari Buku Nasional] Di Era Digital, Buku Karya Kompasianer Membanjir

18 Mei 2018   11:05 Diperbarui: 18 Mei 2018   11:14 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1982, buku pertama saya terbit. Persisnya karya tulis saya yang dibukukan. Mengenai Lingkungan Hidup. Perihal Kantor yang dipimpin oleh Emil Salim. 

Demikian mudah menulis buku? Tidak, justru. Karena waktu itu untuk mencetak buku, mesti berbiaya besar. Proses teknologinya berular panjang. Sejak ditik, naskah dikoreksi, di-lay out, menjadi film lalu dijadikan plat hingga kemudian dicetak secara offset. Nah, di situlah aku bekerja, setelah menjadi redaksi majalah anak-anak Kucica ditutup, 1982.

Siapa sangka, tahun 1999, ketika dalam sebuah diskusi perihal ekonomi dan politik di Hotel bilangan Menteng saya yang menjadi panitia bersua dengan Prof Emil Salim, sembari mengatakan dengan sungguh-sungguh, "Tidak sah kalau buku ini tidak ditanda tangani penulisnya," sambil melirik ke arah saya penulis Tragedi Semanggi yang dulu pernah menuliskan tentang Kantor Guru Besar Ekonomi UI itu.

mawar-merah-01-5afe4dc0ab12ae6ed960c6f2.jpg
mawar-merah-01-5afe4dc0ab12ae6ed960c6f2.jpg
"Membuat buku itu rumit," kata Pak Tjiptadina Effendi. Ah, padahal ia pegiat literasi handal di usianya berkepala tujuh dan bermoto: onedayonearticle. Dan dibuktikan buku-bukunya, sebelum era medsos dan aktif di Kompasiana. Buku-buku motivasi dan Reiki yang menjadi best seller, dan bisa membuatnya berkeliling dunia berdua istri tercinta, Roselina.

Mungkin benar. Selain menulis naskah yang menarik, juga proses menjadi buku yang rumit, perlu ketelitian dan data yang tidak asal. Saya akui. Bahkan ketika di era digital sekarang ini. Paling tidak, menjualnya pun tidak mudah. Karena kini orang lebih senang dengan apa saja yang bernama visual, dan mudah dibuat lalu diunggah ke Youtube, misalnya.

cover-kidung-jejak-jawa-5afe5084caf7db4df0357443.jpg
cover-kidung-jejak-jawa-5afe5084caf7db4df0357443.jpg
Namun salah, kalau saya menghentikan untuk menulis buku. Karena ketika kemudian berkubang dengan para penulis di Kompasiana, para Kompasianer yang sedang bergairah menulis dan kemudian membukukan. Sehingaga wadah bernama KutuBuku hingga kini sudah mengumpulkan di kisaran delapan puluh judul buku. Dari berbagai genre: fiksi maupun non fiksi.

Saya jadi teringat dengan Pak Pramudya Ananta Toer -- yang pernah saya sambangi beberapakali rumahnya di daerah Utan Kayu, Jakarta Timur sebelum pindah ke Bogor dan meninggal. "Karena kita ini bukan siapa-siapa, maka menulislah, agar tak dilupakan zaman," katanya mengingatkan.

Buku Kumpulan Puisi Karya Edrida Pulungan. Dok Pri. TS
Buku Kumpulan Puisi Karya Edrida Pulungan. Dok Pri. TS
Dalam saya menulis buku, di antaranya: Tragedi Semanggi, dikatapengantari  Amien Rais, membawa saya dalam perjalanan serta pertemuan-pertemuan dengan para tokoh, termasuk menuliskan biografi. Selain menerbitan buku-buku mereka yang ingin menuangkan kreativitasnya sebagai penulis fiksi. Termasuk untuk guru-guru: Erni Wardhani, Nuraeni, Aan Nurhasanah, Saiful Amri, Iis Nia Daniar, R. Eneng Siti Fajar, Azzahra, Ade Supartini, Fitri Hidayati, Teguh Hariawan. Karena buku karya mereka termasuk untuk keperluan jenjang kepangkatan sebagai seorang pendidik yang bisa menulis dan menjadi penggerak berliterasi. Oleh karenanya buku karya mereka, mestilah ber-ISBN dan ada Barcodenya. Sebagai legalitas.

Bagi saya, tidak cuma itu. Di mana pernah saya bubuhkan tanda tangan ke pengarang sekelas Pramudya Ananta Toer. Namun ada ekspresi sekaligus sebagai matapencaharian. Bener? Ya. Kenapa, kalau ada yang bertanya kenapa menulis? Karena saya memang penulis.

kopong-1-01-5afe4e91ab12ae601f350ef6.jpg
kopong-1-01-5afe4e91ab12ae601f350ef6.jpg
Dan ibaratanya saya hanya menggarami laut. Karena dalam soal perbukuan  masih memprihatinkan, termasuk di Hari Buku 17 Mei ini. Saya teringat sahabat saya, dosen Unesa Moch Khoiri yan menulis buku Rahasia TOP Menulis dan diterbitkan di Elex Media Computindo. "Saya takkan menulis buku seperti cara sukses menjadi Hacker," katanya, ketika akan bedah buku di Toko Buku Gramedia Matraman, di mana saya menjadi moderatornya dan Isson Khairul sebagai pembanding. Oya, Isson rekan saya di KutuBuku, Komunitas Kompasiana. Selain hari itu ada Gapey Sandi, Kompasianer pula.

KArya Kompasiaenr dari Blora. Dok pri. TS
KArya Kompasiaenr dari Blora. Dok pri. TS
Mungkin benar apa yang dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, jika buku yang dibaca adalah jenis berhalaman-halaman kertas. "Jika dalam buku ada konten negatif, itu mudah dikontrol. Sebaliknya, konten di media sosial sulit dikontrol," sebutnya menyambut Hari Buku Nasional, di Jakarta, Kompas, Kamis (18/5).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun