Tak terasa, seribu satu tulisan kutayangkan di Kompasiana. Jumlah yang tak banyak. Tapi lumayanlah untuk rentang waktu lima tahun: Cerita Minggu Pagi, puisi, pendidikan, perjalanan, nangkring dan apa saja sampai ketemu beberapa menteri, termasuk tulisan politik.
Beberapa tulisan yang kuikutkan dalam lomba, menang. Bukan hanya yang diadakan oleh Kompasiana, namun komunitas di bawah K maupun di luar. Termasuk cerita anak saya: Sepatu Pandu menang Lomba di Balai Bahasa Jawa Barat. Angkanya pun, hm. Lebih dari lumayan. Sebab itu bagian dari seorang penempuh jalan sunyi: sebagai penulis. Habis-habisan.
Dari menulis di Kompasiana ini pula saya dan Isson Khairul menghimpun teman-teman Kompasianer menulis dan membukukan dalam komunitas KutuBuku. Berbagai tema. Terutama keindonesiaan, pendidikan, "bagaimana menjadi" perempuan dan fiksi. Mereka yang sama sekali belum pernah menulis hingga yang sudah menulis buku best seller, ada pula yang kemudian tulisannya menjadi buku laris dan diterbitkan oleh penerbit gede (mayor). Much Khori dan Taufiek Uieks di antaranya. Artinya, saya yang kerap disapa: Bang, Bung, Pak, Pakde, Paklik, Om, Mas, sampai ....TS saja (Inisial saya) . Tak sias-sia. Â Â
Tersebutkan mereka yang menulis dan membukukan karyanya: Faisal Basri, Tjiptadinata Effendi, Roselina Tjiptadinata, Kang Nasir Rasyid, Thamrin Dahlan, Sutiono Gunadi, Fajruddin Muchtar, Sugiyanto Hadi, Iskandar Zulkarnain, Gaganawati Stegmann, Maria Margaretha, Giri Lumakto, Moch Khoiri, MJK Riau, Rifki Feriandi, Ikhwanul Halim, Â Dian Kelana, Ismail Suardi Wekke, Indria Salim, Teguh Hariawan, Ngesti Setyo Murni, Agung Soni, Ando Ajo, Akhmad Fauzi, Bain Saptaman, Edrida Pulungan, dan berderet lainnya. Sampai beberapa guru: Erni Wardhani, Didik Sedyadi, Teha Sugiyo, Ade Supartini, Atjih Kurniasih, Casminih, Neni Nurachman, Badriah, Azzahra Nabila, sampai Nuraeni, Ning Ayu, dan Cay Cay. Mereka menulis tunggal atau secara keroyokan. Dan yang memberi kata pengantar atau endorse: menteri dan prof.
Ngefeknya itulah yang menandakan Kompasiana sebagai media warga yang cukup bergengsi. Sehingga saya berpikir, percuma meninggalkan Kompasiana. Yang diketahui, dulu, sebagai media blogger tak berbayar. Jika kemudian ada honore, ya apiklah.
Seribu satu teks tulisan  yang dibukukan hingga di angka delapan puluhan judul, jelas sebuah catatan bagus. Paling tidak, spirit yang terjaga dan dorongan, terutama Kang Pepih yang kini ndak di kandang Palmerah yang sudah saya tapaki sejak tahun 1982 ketika menulis di HAI, Bobo, Nova, Kawanku, dan Koran KOMPAS. Â
Bisa dibilang, Kompasiana adalah kolam pembelajaran bagi orang-orang yang tersedot untuk menulis. Atau meneruskan menulis ketika dunia media mainstream tak mampu menampung secara cepat tulisan yang membuncah dari warga biasa. Bahkan Faisal Basri (tokoh cendekia pilihan KOMPAS) pernah menyebut ke saya: pokoknya nulis dan kalau di tempat lain mesti ngantre ya di Kompasiana.
Benar kata pengamat ekonomi (UI) yang sesekali menulis di Kompasiana ini. Dan saya masih terus akif, terutama Cerita Minggu Pagi yang sudah ke seri 70, masih setia. Juga setia menampung siapa pun yang ingin punya buku. "Kalau kita bukan siapa-siapa, menulislah. Agar tak ditelan zaman -- Pramudya Ananta Toer". Sastrawan yang pernah saya temui ketika masih tinggal di Jakarta Timur.
Karena menulis, di Kompasiana, saya ada! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H