Minggu pertama Agustus 2018 baru akan dimunculkan siapa Capres dan Cawapres dalam Pilpres 2019. Joko Widodo sudah dicalonkan oleh PDI Perjuangan dalam Rapimnas di Bali dengan pernyataan Ketumnya Megawati Soekrano Putri. Sepertinya sah, dan sudah didukung pula Golkar, Nasdem, PPP serta Hanura. Wajar, jika mereka, para elitenya berpengharapan  bisa disandingkan dengan presiden ketujuh asal Solo.
Ibaratnya, sang petahana ini pria menarik dan siapa pun minat untuk menjadi pasangannya. Tak kurang ketum PKB yang sudah pasang iklan dirinya di setiap sudut kota sebagai Cawapres mendekatinya. Celakanya dengan cara "kawin paksa". Yakni dengan setengah ancaman.
"Saya ingatkan, kalau salah memilih cawapres maka bisa kalah," kata Cak Imin di Mata Najwa, seperti juga dilansir Republika, Senin (19/3). "Apalagi mau cari yang non partai segala macam," imbuhnya.
Alasan Cak Imin, karena di tubuh PKB ada setidaknya ada 11juta pengikut dari kaum muslim dan pernah menyumbang Jokowi-JK pilpres 2014. Sebuah kekuatan. Padahal, Â kader partai besar -- PKB bukan 3 partai tiga besar -- ada Golkar yang lebih beragam. Dan ketumnya Erlangga Hartarto lebih elegan.
Tak menyorong-nyorongkan diri, lebih-lebih memakasa Juga ketum-ketum lain, tak segegabah keponakan Gus Dur yang senang melarang-larang Khofifah Indar Parawansa maju dalam Pilgub Jatim segala. Bahkan Zulkifili Hasan, ketua MPR "atasan" Cak Imin yang baru dilantik sebagai wakil ketua MPR lebih realistis. "Tentu kita mau (jadi cawapres). Tetapi, ini tidak bisa lagi berpikir maunya kita sendiri," ujarnya, Kompas, Selasa (27/3).
Jokowi punya nilai jual, selain sebagai petahana. Berbagai survei sudah menunjukkan itu, di kisaran 56 persen sementara yang terdekat Prabowo Subianto hanya di kisaran 22 persen (Indo Barometer).
Ibaratnya ia gampang laku dan tak mudah untuk diajak "kawin paksa", karena kondisi tawarnya yang kurang. Ini perlu dibedakan. Yang mesti dibaca oleh mereka yang ingin berdekatan dengan petugas partai PDI Perjuangan yang cukup baik melaksanakan tugasnya.
Bukan berarti, kita senang dengan adanya satu-satunya orang yang akan kawin dalam Pilpres 2019 mendatang. Sebab, bagaimanapun demokrasi mesti berjalan sebagaimana mestinya di negeri terbesar (terbanyak penduduknya) keempat di dunia. Dan kalau mau jujur, baru mengadakan Pemilihan Presiden secara langsung tiga kali. Dua kali dimenangkan oleh SBY dan sekali, belum genap lima tahun oleh Jokowi.
Kondisi bangsa yang belum stabil ekonominya ini sedang dibenahi. Di jalur yang benar. Setidaknya, dikerjakan oleh Jokowi dan JK, membongkar cara kepemimpinan sebelumnya. Yang tidak berani mendobrak kebiasaan lama. Dan presiden ketujuh dibantu oleh orang semacam Susi Pudjiasti, yang kerja benar dan tidak berpolitik seperti umumnya menteri dari kaum politikus.
Muhaimin Iskandar, satu di antara yang sedang mempermainkan politik dirinya. Sayangnya, dengan cara yang tidak elok. Apalagi kalau memutarbalik rekaman kenapa ia sampai tidak dipilih menjadi tim Kabinet Kerja karena tersandung kasus Kardus Durian. Atas saran KPK, agar Jokowi tak memilihnya. Berisiko.
Jadi, apalagi kini. Memaksa-maksa. Taklah! ***