Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lontong Sayur Mpok Imah

14 Januari 2018   06:06 Diperbarui: 14 Januari 2018   08:33 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Minggu Pagi 61

Sarapan lontong sayur di dekat rumah dilakukan kadang-kadang. Tak membutuhkan banyak uang dengan sepiring lontong diiris-iris, diguyur sayur labu diris-iris dan setengah sendok sambal berwarna kemerahan. Lalu ada krupuk yang ditaburkan. Siapa pun yang lewat patut untuk tak dihiraukan.

Minggu pagi ini berjalan sendirian, menuju salah satu penjual di dekat ujung jalan tak terlalu ramai. Duduk di lincak, aku memesan lontong sayur jualan Mpok Imah.

"Pakai telor, Bang?"

"Nggaklah. Kan udah punya."

Dia ngikik.

"Pakai sambal, Bang?" tanya wanita masih muda itu.

"Jangan banyak-banyak."

"Segini?" ia memperlihatkan sendokan sambal agak cair itu.

"Kurangi dikit."

Dia menahan tawa, "Jadi laki-laki banyak makan sambal, Bang. Biar ...."

"Apa?" potongku.

"Ya nganu ....!" katanya sambil celingak-celinguk.

Ah, itu yang kadang mengangeni aku makan lontong sayur wanita yang ditinggal suami bekerja di luar kota jarang pulang. Ia berjualan pun, katanya untuk nambah-nambahi penghasilan. Kalau mengandalkan dari suami, nggak cukup, katanya.

Lama tak ada pembeli datang, dan itu yang kuharapkan. Sambil apa saja melontarkan pertanyaan kepadanya. Mpok Imah menjawab dengan senang hati.

"Semalam ujan, ngeringkel sendirian, dong Mpok."

"Ya, nggak lah."

"Ame sape?"

"Anaklah."

"Ih."

"Kok ih? Emang Abang ...."

Aku tersenyum. "Mau dateng nemenin ...."

"Ya kagaklah. Jangan ...."

Kami pun tersenyum. Dan menghentikan pembicaraan ketika ada Bu Maryam datang untuk membeli nasi uduk. Selain menjual itu, Mpok Imah menjual nasi kuning. Hanya, aku lebih memilih lontong sayur.

"Jangan bilang, sebenernye kenapa sih Abang sukanya lontong?" Mpok Imah melanjutkan pertanyaannya ketika ibu berkerudung itu berlalu dengan urusan nasi uduk.

Aku diam.

"Aku juga suka, kok."

"Oh."

"Bener."

"Pake sambel?"

Ia menggeleng.

"Trus diapain?"

"Ya, dimakan gitu aja."

"Nggak dipotong-potong?"

Dia tertawa.

"Abang, ih."

Aku meninggalkan warung kecil Mpok Imah ketika selintasan kulihat istri naik motor. Mungkin ia tak tahu. Atau pura-pura. Aku memang tidak bilang untuk makan lontong sayur di warung Mpok Imah. Bahkan istri kerap tidak suka kalau aku ditanya dari mana dan kujawab dari makan lontong sayur di ujung jalan tak terlalu ramai itu.

"Besok ngelontong lagi, ya Bang?"

"He eh. Ditemenin Mpok Imah, dong?"

"Kalau itu sih mending makannya malem-malem."

Aku melongo.

"Kite makan bareng."

Aku garuk-garuk kepala. Bergegas meninggalkan warung Mpok Imah. Siapa tahu istri berputar haluan menjemputku.

***

AP/14/1/18

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun