Arswendo Atmowiloto menulis (cara) MengarangituGampang. Prakteknya? Masing-masing. Pepih Nugraha bidan Kompasiana menulis (dalam kata pengantar) buku Rahasia TOP Menulis-nya sahabat saya Moch Khoiri: Tidak ada sekolah menulis, yang ada hanyalah orang berbagi pengalaman menulis.
Jadi?
Ya, menulis memang mesti dipraktekkan. Tanpa pernah memulai, bagaimana bisa? Bahwa terseok-seok, ya wajar saja. Memang kecebong, yang lahir langsung bisa berenang.
Guru menulis saya (hehehe) penulis Mati Ketawa Cara Rusia yang super best seller 80-an menyebut, bahwa yang berbahasa Inggrisnya bagus, secara umum bagus dalam berbahasa Indonesia dan sekaligus basic dalam menulis. Ia hingga sekarang menjadi redaktur majalah paling prestis TEMPO, pemateri dalam berbagai pelatihan menulis. Honornya mahal.
Tulisan Mas Wendo (saya memanggilnya begitu kepada Arswendo) Mengarang itu Gampang saya baca ketika belum menjadi buku best seller. Masih di mesin tik manual di redaksi majalah HAI awal 80-an, kelompok KOMPAS-Gramedia di mana saya pernah menimba ilmu di sana. Nyata menjadi inspirasi hingga hari ini. Bahwa kapan waktu paling tepat dalam menulis? Ya, sekarang. Sekarang itu kapan? Ya, sekarang. Mulai saja.
Nah, guru-guru Kota Bekasi yang tergabung dalam MGMP Bahasa Inggris SMP Kota Bekasi, membuktikan. Mereka menulis setelah sedikit "dituntun" Kompasianer Erni Wardhani dalam sebuan pelatihan menulis yang kemudian dibukukan dengan tajuk: Butiran Asa Menyatu.
Klop kan?
Mereka, para guru itu memenuhi persyaratan dari rangkuman referensi di bagian depan tulisan ini. Awal menulis, dan para pembelajar Bahasa Inggris itu sebuah dobrakan Saiful Amri dan kawan-kawan. Soal hasil? Ya, tidak ada yang ujug-ujug, tentu.
Isi  buku terdiri atas 24 artikel yang digabung dengan karya fiksi, cerpen persisnya. Padahal, yang termaktub hanya ada 20 orang guru -- sekali lagi mereka adalah guru Bahasa Inggris. Artinya, ada yang seorang menulis lebih dari satu judul.
Jika menyimak karya mereka yang langsung bisa membukukan tulisan yang dieditori seorang Kompasianer Erni Wardhani, sebuah prestasi. Apalagi, buku ini tampil lumayan dan ber-ISBN. Sah sebagai buku warga dunia dengan barcodenya itu. Yang bisa diakses siapa pun dari mana pun, eksistensinya. Tentu, termasuk yang berbahasa Inggris.
Apa pun, para guru yang menulis, sebuah niat bagus. Untuk memecah dan mengurangi stigma, bahwa bangsa kita malas membaca. Di mana Unesco -- yang mengurusi budaya, menyebut. Bahwa hanya satu orang yang sungguh-sungguh dari seribu orang Indonesia yang membaca buku. Itu laporan tahun 2012, lho. Dan faktanya, hingga hari ini rakyat kita, lebih senang berselfie (kata seorang guru Bahasa Indonesia yang baru membukukan kumpulan cerpennya: Kopong). Juga dari Kota Bekasi.