Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Cerita Iis Nia Daniar Tak Kopong

4 Desember 2017   11:10 Diperbarui: 5 Desember 2017   04:14 1275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca cerita pendek karya seorang guru kita kerap dikepung persoalan di sekitar ia sebagai penulisnya. Tentang pendidikan, moral dan sekaligus kenakalan di dalamnya. Stereotip. Lalu kita pun bosan dibuatnya.

Namun cobalah jika ditulis dengan skill seorang pengarang sebenarnya. Hilangkan kesan orang serius di dunia pendidikan. Niscaya akan kita temukan persoalan-persoalan yang humanis. Lingkungan dan bacaannya yang kuatlah yang menyembul sebagai persoalan yang sastrawi.

Setidaknya itu kalau kita menemukan Kopong bisa dibaca: kosong. Sesuatu yang tampaknya (kopong) melompong, tak ada apa-apanya. Benarkah? Jawabannya tidak. Di tangan Iis Nia Daniar, kita temukan beragam persoalan dan yang lebih penting lagi benar ia menggunakan bahasa fiksi atau prosa yang lengkap: tokoh yang berkarakter, setting yang membumi dan persoalan menghunjam. Itu bisa ditelisik melalui nama-nama tokohnya yang ndesani: Saedah dan Saeni, misalnya. Atawa Badrun, Panirun dan seterusnya.

Pada cerita Kupu-kupudi Subuh, sebaliknya. Kita temukan nama Anggel. Nama yang bekesan elite. Meski, sesungguhnya itu nama samaran seorang kupu-kupu malam, hal yang lazim untuk menaikkan harga dan menghilangkan jejak sebagai orang kampung dalam menjual tubuhnya. Namun ceritanya sendiri utuh. Hingga mempurukkan ia ketika ada kesadaran di lingkungan lumpur dosa, saat pagi menjelang Subuh yang bening.

Iis, pengarang, piawai merangkai kata. Dan ia bisa diharapkan menjadi seeorang (guru) penulis fiksi yang mengerti bahasa prosa. Tidak verbal. Simak narasi indah ini: Padahal tanganku sama sekali tidak memegang kayu atau batu. Aku hanya memegang janji Dwi yang ada dalam selembar kertas putih, meskipun kertas itu telah berubah warna.

Persoalan-persoalan (tema) yang diangkat Iis, beragam dan mengentak. Ini sebagian dari bahasa prosa. Selain judulnya yang menunjukkan hal itu, juga karakter tokoh-tokohnya yang khas kelas bawah. Pada dialog (kalimat langsung) kita temukan, "Ya, wis, aku ngaku. Aku dadi wong melarat dari masih jadi benih dalam rahim Mbokku. Puas tah sampeyan?" bentak Panirun -- SangKritikusEmperan.

Sedangkan pada Anjani, kita menyimak persoalan yang kian tren di kalangan zaman now. Perslingkuhan atas nama apa pun. Yang bisa berakibat terpuruknya pelaku, hingga ke balik jeruji. Sebuah penyesalan, kerap ada di bagian belakang "keindahan" yang oleh masing-masing pelakunya diintepretasikan.  "Inilah perhiasan para pesakitan, orang yang telah melanggar norma dan menerobos batasan dari aturan yang telah ditetapkan," ejek seorang penjaga pada Jaka dengan senyuman sinis (halaman 9).

Kopong yang dijadikan sebagai judul enam belas cerpen Iis, complicated. Cukup panjang, dan berliku plotnya. Tentang sebuah masa silam, misteri lukisan dan orang-orang di dalamnya. Tentang tokoh aku, Mama, Opa, Mbak Yun dan seterusnya. Berkelindan dalam labirin waktu yang mengiris. Seperti ungkapan si aku:  Aku takut Mama meninggal. Bu Sukiyah pernah bercerita tentang wanita yang menangis terus selama tujuh hari tujuh malam, dan pada hari berikutnya dia meninggal mengenaskan dengan bekas cekikan di leher. Akhirnya, aku menangis keras-keras memeluk Mama. Mama pun menangis kembali.

Oleh karenanya, kumpulan cerita yang ditulis guru di Kota Bekasi ini menjadi salah satu penanda. Bahwa menulislah, pada sebuah prosa, tanpa mengindahkan latar belakang. Sebab, sebuah tulisan yang dibareng dengan imajinasi liar, dengan latar belakang seorang berilmu moral seorang pendidik bisa menjadi sebuah kekuatan.  Niscaya!

  

Judul                     : Kopong
Penulis                 : Iis Nia Daniar
Penerbit              : Peniti Media, Desember 2017
Tebal                     : 139 halaman
ISBN                      : 978-602-6592-16-3

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun