Keyakinan itu dipunya dan diungkap oleh Basthomi Taher ini:Â Howard Gardner, pencetus teori Multiple Intelligences mengatakan bahwa setiap anak mempunyai kepintaran yang bermacam-macam yaitu kecerdasan musical dan harmoni, visual-spasial, bahasa, logika dan matematika, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, serta alam dan naturalis. Bila tiap guru menyadari hal ini, mereka pasti mengerti tidak ada yang instan dalam pembentukan karakter positif pada anak-anak, terutama perubahan karakter pada anak-anak yang memiliki kecerdasan kinestetik yang lincah dan hiperaktif.
Juga pelajaran pada Friday Market -- sebuah pembelajaran dengan siswa membuat kuliner pada hari Jumat. Berkesan, main-main, memang. Namun di situlah menggambarkan pembelajaran yang menuntut kreativitas guru. Sekaligus mentransformasikan kepada anak didik dalam belajar dengan cara lain.
Penggambaran sekolah NIBIIS ini, secara singkat ditulis oleh seorang anak tentang sekolah yang tidak mencela siswanya. Sebuah sekolah bersih, dan seterusnya: Di sekolah ini bapak ibu guru berusaha menjawab pertanyaanku. Jika mereka tidak bisa menjawab, mereka pasti mengatakan, "Pertanyaan yang bagus,saya simpan dahulu ya, In Syaa ALLAH pekan depan akansaya jawab untukmu."
Aku senang dengan jawaban mereka. Aku maklum walaupun mereka seorang guru namun mereka juga manusia biasa yang mempunyai pengetahuan terbatas.  Pekan kemudian guruku menjawab pertanyaan yang aku  pertanyakan itu. Guruku menepati janjinya.Â
Sekolahku, SesuatuBanget judul tulisan di atas oleh Icha Bahri. Â Menandakan dan sekaligus menggambarkan bentuk kreativitas atawa cara belajar-mengajar out of the box. Ini menjadi sejalan dengan kebebasan orang menulis. Perpaduan antara yang dilihat-didengar-dirasakan lalu dipikirkan dan dbenturkan dengan imajinasi. Â
Tema yang ditawarkan KutuBuku Kompasiana, memang kedekatan bagi para pendidik di lingkungan sekolah yang full kreatif: Merespon Siswa Menjadi Kreatif. Bentuknya bisa fiksi atau feature.
Munculnya guru-guru di NIBIIS bisa disebut sebagai penanda. Bahwa mereka, sesungguhnya ya "bisa menulis". Hanya, selama ini belum mengerti harus memulainya. Namun ketika ditawarkan untuk menulis dari keseharian mereka, bukankah akan menantang: O, kalau begitu sih bisa. Ya, memang bisa. Mendobrak kebuntuan itu karena bayang-bayang, jika menulis itu adalah pekerjaan orang-orang serius yang telah membaca berpuluh judul buku. Tidak.
Setidaknya, mereka sebagai guru sudah membaca pesan dari KutuBuku atau empat Kompasianer selama pelatihan. Lalu telah menuliskannya. Bahwa menulis tak bisa instan, ya. Perlu proses panjang dan tak mengenal kata akhir. Akan ada gairah. Pembenahan pada tulisan berikutnya, persis apa yang dikatakan penyair Prof Sapardi Djoko Damono (SDD): Tulisan yang terbaik, ya belum saya tulis, kata guru besar Universitas Indonesia.
Jadi? Guru-guru di NIBIIS baru memulainya. Dan takkan menghentikannya. Sebelum ada karya nyata berupa buku. Sebagai penanda. Bahwa mereka akan menjejakkan teks untuk generasi berikutnya.
Selamat berliterasi.