Gairah berliterasi ada di Bekasi. Persisnya di NIBIIS (Nurul Ilmi Integrated Bilingual Islam School) di Kawasan Bekasi Timur. Ada empat puluh orang guru bersemangat mengikuti Pelatihan Menulis yang disambangi KutuBuku Kompasiana. Dua kali diadakan pada bulan pertengahan Agustus dan 9 September 2017. Hasilnya, lebih dari lumayan.
"Kami ingin guru-guru di sini bisa menulis dan mengimplementasikannya pada siswa, kelak," kata Icha Bahri, ketua Yayasan sekolah dengan bangunan berlantai tiga itu.
Sebuah cita-cita sederhana? Tidak. Karena menulis sudah dengan sendirinya mengait dengan profesi para pendidik. Membuat laporan, ya menulis. Mengajarkan kepada siswa, tentu ada bagian menulisnya. Demikian Ikhwanul Halim, Kompasianer berlatar belakang Teknik Nuklir UGM yang bermunajat satu hari satu tulisan. Dan kali ini membagikan kepada guru di NIBIIS ini perihal menulis fiksi.
Jika selama ini para guru kerap mencatat kalimat sakti "Buku adalah Jendela Dunia, maka membaca adalah kuncinya, kali ini kita lebih dari itu. Yakni dengan menuliskannya. Lalu kita akan membukukannya," sebut saya, Â Thamrin Sonata.
Erni Wardhani, kompasianer dan guru bahasa Indonesia yang setahun ini menelorkan beberapa buku bahkan mengajak fun peserta. Dengan membuat sebuah cerita berantai bagi peserta NIBIIS batch 2. "Kita mulai dari sebelah kiri. Tema bebas. Ya, konsentrasi. Disambung teman sebelahnya."
Asyik, kan? Dan ide sebuah cerita, bisa liar. Meski ketika menjadi tulisan, ada kesadaran dan aturan agar hasilnya bisa dikomunikasikan. Semisal ada sebab-akibat dan benang merah yang bisa ditarik. Sehingga apa yang didengar-dilihat-dirasa saat dibaca oleh orang lain, mudah dicerna. Ini bentuk komunikasi dalam dunia literasi.
Menggawangi KutuBuku dan sudah menelorkan -- setelah menularkan lewat pelatihan menulis -- buku ketika ada penulis-penulis baru, menyenangkan. Bisa menjawab. Bahwa perlu diperbanyak dari pendidik untuk menulis. Lebih-lebih, ini era digital atau milenial. Di mana media sosial begitu mudah sebagai wadah siapa pun untuk menulis dan mengekspresikan. Untuk tidak berupa hujatan dan ujaran kebencian, oleh karenanya pelatihan dan bekal menulis yang bertanggung jawab menjadi niscaya. Di bawah ini, saya kutipkan karya mereka.
Sebuah judul menggelitik, ditulis Qori. Menceritakan perhatiannya: Kujawab dengan gelengan kepala dan lambaian ajakan padanya. Alhamdulillah, dia menerima ajakannya. Dia mulai meninggalkan tanaman yang sudah terlihat botak dan menghampiriku. Kupegang bahu Atan, bocah kelas 3 yang tertarik dengan dunia sains dan punya daya imaginasi tinggi itu. Kuajak bercerita tentang daun dan fotosintesis, daun yang bisa berdzikir, dengan harapan dia tidak akan mengulangi perbuatannya seperti 30 menit yang lalu. Itulah momentum kesuksesanku hari itu, pagi itu.
Yetty Sukaesih, punya jejak panjang sampai pada keyakinan. Bahwa menjadi guru TK di Nibiis tak semata mengajar, membimbing atau kreatf, namun: Kembali tanggung jawabku bertambah lebih, dan aku mulai merasakan ketakutan dan keraguan karena aku merasa tidak kreatif. Sampai akhirnya aku dipertemukan dengan seseorang yang menjadi inspirasiku yaitu seorang konselor yang memberikan pencerahan bahwa seorang guru TK itu bukan hanya kreatif saja, tapi lebih utama adalah hatinya. Apabila hatinya sudah terikat untuk mencintai anak-anak maka kreatif itu pun akan muncul.