Dan berhenti di situ.
Ia tak bisa mengirim dengan kalimat serupa, misalnya.
“Kalau orang terluka, masih bisa segera disembuhkan. Tapi kalau ia dilukai dengan lisannya, belum tentu setahun sembuh.”
Ia mendengar itu pada Subuh ini. Pada lengser dini hari. Ketika ia membawa kata-kata yang dilontarkan oleh orang yang mengerti apa arti ucapannya itu. Kalau tidak, tak mungkin ia berdiri di mimbar. Dan menghujamkan kata-kata indah tak bersayap perihal kebaikan dan sebaiknya orang berbuat kebaikan kepada orang lain. Juga kepada dirinya.
“Sebelum mati, hati seseorang dibuka. OlehNya.”
Kenapa Syaban yang hari itu tak dilihat oleh Nabi, tidak shalat Subuh sepertinya biasanya. Maka Nabi ba’da shalat mengajak salah seorang sahabatnya untuk menyambangi Syaban yang terbiasa shalat Subuh di pojok masjid.
“Ia baru saja meninggal, ya Nabi,” ungkap istrinya.
Nabi tercenung. Apalagi ketika istri lelaki yang sebelum meninggal menyebutkan tentang kata-kata yang tak dimengertinya.
“Apa yang dikatakannya?” tanya Nabi.
“Kenapa tidak lebihjauh. Lalu menyebut, kenapa tidak lebihbagus. Dan terakhir, kenapa tidaksemuanya,” tutur istri yang menangis. “Saya sungguh tidak mengerti tiga kata-katanya ketika ia hendak sakartul maut itu.”
Mengertilah ia setelah diuraijelaskan lelaki dari mimbar itu. “Kata Nabi, Syaban menyesal. Kenapa masjid tak lebih jauh kalau pahala salat Subuh itu sedemikian melimpah. Padahal, dua jam perjalanan setiap hari ia shalat dan menembus dinginnya udara.”