Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tak Membaca Buku, Takkan Membuat Kita Mati

17 Mei 2017   09:53 Diperbarui: 17 Mei 2017   10:31 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya belajar dari para penulis senior, semisal dengan Mas Goenawan Muhmmad selain berteman dengan Herry Gendut Janarto, misalnya.

Hari Buku Nasional

Saya kira kenapa buku itu tak diminati satu di antaranya takkan membuat seseorang mati karenanya. Persisnya, seseorang tak membaca (buku) dan ia bisa hidup seperti biasanya. Hanya, ia kurang pengetahuan. Itu saja!

Di era milenial kini, membaca bisa dengan banyak cara. Mengingat informasi bisa didapatkan dari elektronik (telivisi dan radio) serta digital (portal, media sosial dan CSnya) selain lewat cetak semisal buku.

Saya belajar dari para penulis senior, semisal dengan Mas Goenawan Muhmmad selain berteman dengan Herry Gendut Janarto, misalnya.
Saya belajar dari para penulis senior, semisal dengan Mas Goenawan Muhmmad selain berteman dengan Herry Gendut Janarto, misalnya.
Maka bisa dimengerti, bahwa Hari Buku Nasional berdasarkan peresmian Perpustakaan Nasional pada 17 Mei 1980 dan kini berarti sudah 37 tahun, tak bergema apa-apa kalau tak ingin menyebut kian sayup-sayup. Ada atau tidak hari buku, takkan membuat seseorang bermarwah atau tidak dalam mengenyam pengetahuan yang membuncah di era kekinian.

Laporan UNESCO (2011) masih relevan. Bahwa penduduk negeri ini hanya 1 (satu) orang yang serius meminati buku bacaan dari seribu orang. Ngenes? Tak usah dibahas. Karena memang itu kenyataannya. Dan takkan membuat seseorang mati kutu walau takkan pernah menyentuh buku yang bisa memusingkan itu – membaca larik-larik kata dalam ribuan jumlahnya.

Kedudukan atau peringkat negeri ini dalam membaca literasi payah, dan sudah sama kita maklumi. Dalam survei internasional, jelas peringkat kita di papan 60 dari 61 negara yang disurvei: persis di atas Botswana (Maret 2016). Artinya, negeri antah-berantah itu nyaris sama dengan negeri gemah ripah ohjinawi ini.  

ngoplah-nindy-591bb8bfd8937376078b4567.jpg
ngoplah-nindy-591bb8bfd8937376078b4567.jpg
Kalau sudah begitu, kita bisa menampik? Taklah. Meski tak bisa dinafikan, bahwa usaha pemerintah tak kurang-kurang. Agar minat keliterasian terus ditingkatkan, seperti beberapa menit sebelum pelajaran pertama sekolah di bangku Sekolah Dasar dan atau Menengah digeber. Belum ada hasil yang dilaporkan secara nyata. Erni Wardhani, Kompasianer  dan guru Bahasa Indonesia SMKN 1 Cianjur, pernah menyatakan: semestinyalah guru yang lebih didorong mencermati teks-teks itu. Kenapa? “Data menyebut 62% jumlah guru di Indonesia, disinyalir tak dapat menulis. Hemat saya, guru yang tidak dapat menulis adalah karena mereka kurang membaca. Bagaimana guru dapat menggerakkan siswanya untuk gemar membaca kalau dia sendiri tidak gemar membaca? Oleh karenanya GLS (Gerakan Literasi Sekolah) khawatir akan menjadi gerakan yang sekadar wacana.  Menurut hemat saya, guru yang harus dipompa lebih keras supaya memiliki gairah untuk membaca dan menulis,” tulis pengarang Teka-teki di Bibury Village.

fix-kartini-01-591bb95a1297739e0ef96ce3.jpg
fix-kartini-01-591bb95a1297739e0ef96ce3.jpg
Kompasiana, tak bisa tidak adalah wadah bagi warga dalam menulis. Dengan segala keterbatasan-kelebihannya. Dan saya yang terpaksa terjun di wilayah medsos tanpa bermaksud menjadi jurnalis media mainstream, menggagas keterliterasian – terutama di kalangan guru atau pendidik. Kenapa? Karena hemat saya, gurulah yang bisa mengerem dan membimbing anak didik di kawasan medsos yang (bisa) liar sekarang ini. Betapa tidak! Per tahun 2015 pengguna internet sudah di angka 70 juta, sekitar 28,3 persen dari jumlah penduduk negeri ini. Facebook, satu di antara yang bertengger paling atas sebagai medsos, pengguna di Indonesia di kisaran 50 persen.

Oleh karenanya, belakangan sebagai Komunitas KutuBuku (di bawah lindungan Kompasiana) gencar mengadakan pelatihan menulis di kalangan guru. Satu di antaranya, di Cianjur Jawa Barat – selain Majalengka, Bogor, Cilegon, Bengkalis, Riau. Mereka, ternyata bila digandeng dengan cara yang enak dan menyentuh, bisa kok menulis: apa yang dilihat-didengar-dirasakan. Bahkan, hasil pelatihan yang kami berikan – saya dan Isson Khairul – menghasilkan buku. Terbaru, bahkan Ibu-ibu Dharma Wanita Dinas Pendidikan Kebudayaan Cianjur – yang kemudian menamakan diri: KartiniCianjur214 – akan menghasilkan buku “Lebih dari Sekadar Kartini” dengan kata pengantar Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.   

Ngoplah, Ngobrol di Palmerah -- bedah buku ala Kompasiana
Ngoplah, Ngobrol di Palmerah -- bedah buku ala Kompasiana
Kita sejak dulu hingga per hari ini Hari Buku Nasional, tak pernah merasa minder dengan keterbelakangan kita menyerap ilmu, pengetahuan. Karena, memang, tak membaca juga takkan mati karenanya. Kita, sekarang-sekarang ini, merasa minder kalau gadget kita bukan kelas terbaru yang penuh dengan fitur bisa  menyesatkan itu. Maksudnya, menjauhkan dari keliteratan kita. Apa kata dunia? Ya, biasa-biasa saja. Walau peringkat dan kenyataannya, kita lemah syahwat dalam soal membaca. Apalagi menulis.

penitibuku-574bd047bc22bdd106a308ff-57c779343497737359f39f25-591bbb227fafbd940bbc102d.jpg
penitibuku-574bd047bc22bdd106a308ff-57c779343497737359f39f25-591bbb227fafbd940bbc102d.jpg
***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun