Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang SDD, Tentang 77, Tentang 7

24 Maret 2017   14:20 Diperbarui: 24 Maret 2017   14:36 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(foto:TS)
(foto:TS)
Padahal, semua itu bermula dari huruf. Bahwa puisi bisa menjadi apa saja, dimusikalisasi, dinovelkan, dan difilemkan. Dari seorang Dukamu Abadi di awal ia menerbitkan buku, disponsori oleh sahabatnya pelukis Jeihan dari Solo bermukim di Bandung, hingga dilahirkan kembali tujuh puluh tujuh tahun kemudian menerbitkan seretak tujuh bukunya, yakni:
  • Sutradara itu Menghapus Dialog Kita.
  • Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?
  • Ayat-ayat Api
  • Kolam
  • Namaku Sita
  • Duka-Mu Abadi
  • Pingkan Melipat Jarak (novel).  

“Mana di antara tujuh buku itu yang menurut Pak SDD yang paling baik? tanya Tony Thamrin, pemandu malam itu, seraya menunjuk  tujuh cover buku sebagai background yang sederhana itu.

“(Tulisan) yang terbaik, ya belum kutulis...,” sahutnya njelehi.

(foto:TS)
(foto:TS)
Tentang SDD, seorang lelaki kurus bertopi, dan bertongkat. Yang nyeleneh dalam menjawab semua pertanyaan bagi guru besar kelahiran Solo pada tahun empat puluh.

Apa peduliku? Apa pedulimu? Aku boleh kan memejamkan mata mengikuti dan mendesah desah Nocturno, Aku berjalan ke Barat Pagi Hari, hingga Perahu Kertas dari mulut Nita Talisa. Atau yang lainnya: Iwan Setyawan, Ni Made Purnamasari, Cyntia Hariadi sampai dengan Taytana Soebianto dan M Umar Muslim dalam memusikalisasikan puisi-puisi SDD sejak tahun 1989.   

Kubawa terbang melayang diriku sendiri. Tentang R, atau entah siapa. Saja. Aku ingin membayangkan seorang lelaki senja: bisa bertopi, bisa tidak. Yang mengelus dada, merayapi dan pelan-pelan masuk ke dalam dada.

waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi

matahari mengikuti di belakang

aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri

yang memanjang di depan

aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun