Di KutuBuku, punya semacam tradisi. Yakni menulis keroyokan atawa ramai-ramai. Sesama, terutama, Kompasianer. Dibukukan, dan kemudian dibedah di sarangnya Kompasiana di Palmerah Barat, yang sekarang bertajuk: Ngoplah. Ngobrol di Palmerah.
Perjalanan untuk tema buku kali ini, sesuatu. Maksudnya, suka-cita berhamburan ketika ditawarkan di lingkungan para sahabat KutuBuku. Ini tak mengherankan. Tersebab para Kompasianer yang menjadi KutuBuku-ers – sebutlah begitu—berserak di berbagai penjuru. Bahkan hingga ke beberapa negara: Asia, Eropa, Australia, sampai Amerika. Yang Afrika, sepertinya belum terlacak.
Ada sesuatu gairah dari KutuBuku-ers kali ini. Boleh jadi mengingat latar belakang mereka, dan kemudian berdiam atau berdomisili. Atau bahkan ada yang menyebut diri “nomaden”, hehehe. Artinya, sudah bertualang dan bersinggungan dengan berbagai Ras dan budayanya. Sehingga merasakan dan terasah untuk bertoleransi.
Toleransi, memang ajaib. Menandakan bahwa Tuhan menciptakan makhluk jenis ini berbeda-beda. Lha, sidik jari saja ndak sama. Biar kembar sekalipun. Lalu, di mana hidup dan tumbuh di sebuah wilayah. Bersinggungan dan seterusnya, hidup bertetanggaan dan selanjutnya.
Lalu bagaimana tidak unik. Sedangkan di dalam rumah tangga pun, selazimnya berlaku hukum kebersamaan dalam keberagaman. Jika saya mengutip kalimat Prof. Mahfud dalam kata pengantar buku (In) Toleransi ini, ““Pluralisme itu gampang sebenarnya, sebut Gus Dur. Ibarat Anda hidup dalam satu rumah banyak kamarnya. Setiap orang atau keluarga mungkin punya kamar sendiri-sendiri. Ketika dalam kamar masing-masing orang itu bebas. Ada yang pakai kaus, boleh. Sarung boleh, kemeja boleh. Batik, ulos boleh. Tapi ketika ketemu di ruang tamu, di ruang keluarga, hukumnya sama,” sebut guru besar Hukum UII, menteri di era Presiden kental gaya pesantren dan Jawatimurannya itu.
Maka, bisa disebut kehadiran buku ini sebagai sebuah kolam kebersamaan di Kompasiana. Ini membahagiakan saya, TS, sebagai penjaga gawang KutuBuku. Karena ada warna-warni pemikiran perihal toleransi yang dalam bahasa founding father Bung Karno: dalam jiwa kegotongroyongan khas Indonesia.
Itu sebab, KutuBuku berniat untuk membagikan pemikiran perihal Toleransi di Ibu Pertiwi ini. Yakni dengan mengadakan LombaMenulisResensi buku (In) Toleransi. Bukan hadiah benar yang ditawarkan. Namun kontribusi, dari sembulan pemikiran para Kompasianer dalam soal yang akhir-akhir ini seperti lengkingan di hutan belantara milenial.
Namun, barangkali, acara Ngoplah KutuBuku di Kantor Kompasiana dulu yang perlu didatangi. Dan ada perebugan di sana. Ya, pada Sabtu (18/3) pukul: 14.00 sampai pukul 16.00 Wib. Sehingga bukan sayup-sayup sampai soal toleransi yang sesungguhnya. Kita rawat secara benar dan jernih. Bahwa kita hidup dan tinggal di Tanah yang satu: Indonesia.
Salam, KutuBuku.
Salam, Kompasiana.
***
Foto-foto: dok. pri/TS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H