Cerita Minggu Pagi 25
Dago, pagi.
R duduk.
Di tangannya setengah lagi sebatang es krim. Berwarna putih yang sudah rekah bongkahan cokelat di ujung dekat tangan mungil putihnya.
“Kamu gadis dingin ....”
R menoleh. Kernyit keningnya tertahan. Ingin ia senyum. Tapi untuk apa? Meski kedatangan mendadak dia seperti tahu bulat seharga lima ratus rupiah itu sesungguhnya dinanti. Bahkan ketika sebelum es krim itu dikulum-kulum, dilama-lamakan.
Tak digesernya pantas bulatnya yang pagi ini dibungkus jeans ketat krem dengan atasan sweater hitam berleher longgar. Untuk apa memberi ruang kepada lelaki yang telah mencuri wajahku. Eh!
“Mana foto-fotoku hasil curianmu Minggu kemarin....”
“Sabar.”
“Pak Sabar tetanggaku itu lebih ganteng daripada kamu tau....”
“Oya?”
“Ya. Lebih tua, sih ....”
Lelaki penenteng camera berlensa panjang mengacung itu tertawa.
“Kalau aku duduk di sisi R, akan kutambah magnum es krimmu.”
R melirik lucu ke arah lelaki itu.
“Ditambah ... ini!”
“Iiiih .... mau!” seru R seraya mencoba meraih foto dirinya dicetak ukuran 10 R dari tangan TS.
“Sabar ....”
R cemberut. Ia menggeser pantatnya yang bisa menyita ruang tanggul di trotoar Dago yang seperti tumpah-ruah pada Car Free Day. Orang-orang seperti bahagia semua. Seperti harapan dan kerja Sang Walikota Kota Kembang. Aku juga bahagia, bisik R dalam hati. Ada lelaki lebih ganteng daripada Pak Sabar, dan menjanjikan es krim. Plus foto diriku. Mana aku bisa sabar?
“Aku sudah sabar ....”
“Tapi belum mengakui saya sama sebanding dengan Pak Sabar tetanggamu. Ya, setara ....”
“Ih!”
“Knapa?”
“Kok jadi formal gitu?”
Lelaki itu tertawa.
“Jadi mau liat fotomu yang ....”
“Apa?”
“Ya setara dengan Raisa ....”
“Hah!”
Lelaki itu, menyodorkan. Sekilas. Lalu menarik lagi.
“Ih, bener.”
Ia tertawa.
“Kalau nggak bener kan salah.”
Sret! Kena. R mampu secepat Gundala Putra petir menyabet foto dirinya. Lalu memelototi lama-lama. Manggut-manggut. Untung es krimnya sudah habis. Sehingga tak membuat foto itu tak tertetesi lelehan es krim.
“Ini ...”
R mengangkat wajahnya. Hanya sedepa, sebatang es krim kesukaannya mengece. Namun ia tak secepat kilat tadi menyambar foto. Takut es krim itu meleset. Berbahahahaya!
“Kamu kok baik banget, sih?” Cuma dalam hati. Takut lelaki penyandang camera yang mengaku dirinya TS itu ge-er. “Eh, bukankah aku sudah mengakui, ia setara dengan Pak Sabar tetangga yang memang keren itu?” Ah, lelaki yang ingin kujadikan suami ya seperti Pak Sabar itu. Sudah ganteng, meski sudah punya anak gede, bijak pula. Kalau pacar? Mungkin ya ....lelaki ini.
“TS ... mau motret lagi dulu. Jangan ke mana-mana, ya R?” katanya. Persis pesan seorang penyiar tivi.
Ingin R protes. Tapi demi ia sudah memegang dua potret dirinya yang ...hm, aku lebih indah dari aslinya.
R menghabiskan es krim pemberian itu. Hingga habis. Tapi si pemberi misterius es krim dan dua buah foto Raisa itu menghilang. Lama aku mencarimu.
Bum! Bum!
R menghentakkan kaki ke Bumi Parahyangan. Yang muncul, sayup-sayup lagu entah dari mana. Suara empuk dan menghanyutkan.
*Tiada hati sekian lama
Kini terisi mesra kehadiranmu...
Jiwa lelah berkelana
Merekah sudah di dalam pelukanmu
***
*Karena Tlah Terbiasa, dipopulerkan Rita Effendi
AP, Minggu, 12/3
Foto. Dok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H