Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Puisi Hujan Cerita

13 Februari 2017   17:56 Diperbarui: 1 April 2017   08:53 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi: TS

Sebagai komunitas yang bergerak di bidang fiksi, RTC – Rumpies The Club – terbilang gegas memproduksi karya. Ya, karya dari anggotanya yang kini mencapai 1.062 orang. Dan Aku dan Hujan November adalah buku terkini dari rampaian puisi dan cerita: Rumpies dan Sahabat. 74 judul. 

Hujan, kerap menjadi penghela seseorang – pengarang – untuk menuliskan. Hujan Bulan Juni (puisi, Sapardi Djoko Damono), Hujan Kepagian (cerpen, Nugroho Notosusanto) dan hujan-hujan lainnya. Pun untuk lirik lagu yang membuncah. Dengan segala a-b-c nya air yang luruh dari langit.Bisa lurus, setengah miring, dan yang bergandengan dengan angin. 

Dalam buku bertebal 117 halaman ini, terbit dari sebuah niatan para admin RTC – yang diumumkan di Kompasiana. Dan disambut bak gayung menampung air hujan. Dengan segala ritmenya. Diksinya. Dan daya ungkap kacamata: S. Aji, Ikhwanul Halim, Fitri Manalu, Ay Mahing, Syantrie Aliefya, Wahyu Sapta, Siti Nur Hasanah, Ken Sara, Alin You, Syifa Ann, Pairunn Adi, Budiman Gandewa, Robbi Gandamana dan Didik Sedyadi. Masih ada lainnya, dan sebagian bahkan sudah membukukan karyanya. Berupa kumpulan puisi maupun kumpulan cerpen. 

Sebuah niatan dan sudah menjadi buku, menjadi pertanda. Bahwa literasi, setidaknya, berupa karya fiksi ada dan bergerak. Di era milenial, membuat buku secara solo maupun keroyokan adalah sebuah keniscayaan. Mudah dan murah. Berbeda dengan era sebelumnya. Mesti diterbitkan dan dimuat di media mainstream (arus utama) berstatus SIUPP. Artinya, melewati tahap seleksi ketat dari editor redaksi media tersebut. Meski berhonor. 

Tak usah risau dengan tabal sebagai penulis “di dunia maya” yang recehan. Karena ini eranya. Yang bisa tak membatasi antara yang senior dengan yang yunior. Sebab, meminjam istilah Ayu Utami, pengarang Saman: Ketika giliran senior, eh, aturan lain berubah. Sekarang kami harus tetap belajar lagi, memahami generasi muda. Juga bagi Sapardi Djoko Damono, dalam sebuah perbincangan, menyebut: “Ndak masalah, to. Itu kan hanya media. Yang penting bahasa kalian itu apa? Sudah kuasai dan kayakah bahasamu untuk bisa memperbaiki karyamu?” Bahkan kemudian ketika saya sodorkan fakta. 

Majalah Sastra Horison – yang dulu disebut barometer karya sastra berbahasa Indonesia – terlontar menjadi majalah online. (Peristiwa perubahan itu saya ikuti di TIM ketika majalah ini berultah kelima puluh, akhir 2016 lalu. Dalam istilah Emha Ainun Nadjib: kita masih romantisme dengan membaca sastra seperti membaca Alquran, ngebet-ngebet lembaran kertas. “Saya banyak membimbing mereka – para mahasiswa – yang menuliskan puisi di media sosial. Bagus-bagus, kok,” ungkap SD lagi, sungguh-sungguh. 

Maka, RTC menjadi niscaya sebagai wadah hujan bulan November dalam berpuisi dan bercerita. Semua ada proses. Tak ujug-ujug. Tak ada yang salah. 

Karya seni, adanya indah dan kurang kurang indah. Kecuali dihasilkan dari niat mengacaukan seni berteks ini. Bila daya ungkap di buku ini masih terbilang sederhana, memang itulah faktanya. Atau imajinatif dan liar – namun masih dapat ditangkap keindahannya – itu juga sebuah niatan dan sebuah karya. Yang kali ini bertema: hujan. Salam, Kompasiana!

Salam, RTC. 

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun