Arswendo Atmowiloto menulis buku fenomenal: Mengarang Itu Gampang. Sebenarnya, pentolan majalah HAI saat itu (awal delapan puluhan) menuliskannya tidak langsung menjadi buku. Namun sebagai artikel bersambung di majalah Kelompok Kompas-Gramedia, yang kebetulan saya intip baca sebelum dimuat atau ditayangkan. Ditulis menjelang deadline majalah terbit, saat masih di mesin tik portabel. Ya, karena saya salah satu cantrik di majalah remaja – yang kemudian menjadi majalah remaja pria – yang terbit sampai saat ini.
Mas Wendo bukan saja disiplin dalam soal menulis. Namun ia salah satu penulis terproduktif di negeri ini. Ia, menurut Mas Satmowi; penulis novel-skenario-komik kakak Mas Wendo, bisa menulis berganti-ganti dari mesin tiknya yang lebih dari dua buah. Apa itu artikel televisi, seni-budaya, skenario sinetron Keluarga Cemara, Jendela Rumah Kita, maupun karya novel panjang semisal Senopati Pamungkas. Bahkan ia menulis Opera Jakarta dengan nama samaran Titi Nginung, dimuat di Koran Kompas saking tak tertahankan produktivitasnya.
Gaya Mas Wendo, memang entengan. Dengan penampilan berjeans, kaus oblong plus sepatu sendal. Dan gondrong. Penampilan nyeniman itu, menurutnya bukan sebuah keeksentrikan dari seorang seniman tulis atawa pengarang. “Justru Abri itu yang nyentrik. Rambut selalu pendek. Lha, sepatu harus disemir mengkilat. Sabuk dari kuningan digosok terus pakai brasso,” jawabnya, santai.
Di era milenial kini, orang menulis lebih gampang. Setidaknya dalam menulis status di gawai atau gadget yang dimilikinya. Entah hanya menyebutkan: “Saya sedang OTW, ya!” atau “BTW, kamu lagi galau, ya?” Dan seterusnya. Tak usah dengan tata bahasa dan menggunakan EYD yang sudah disahkan sejak Agustus tahun 1972 secara ketat. Ini era ngasal nulis.
Saya melihat suasana santai, guyup itu ada pada Teacher Writing Camp Bacth 6. Namun acara yang berlangsung tiga hari akhir tahun 2016 di Wisma Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu secara spartan. Membuat – ada di antara mereka yang menyebut apa ini romusha? – 20 orang peserta begadang. Sesiangan mengikuti materi seluk-beluk menulis, dan malamnya mengerjakan tulisan dari materi yang diterima dari belasan nara sumber. Termasuk dari alumi TWC sebelumnya: 1,2,3 dan 5.
Tak aneh apabila mereka, para peserta TWC 6 yang diselenggarakan KSGN (Komunitas Sejuta Guru Ngeblog) kerap menjerit: Wauuuw! Sebuah letupan yang mengagetkan. Antara, wah panitia Masak gitu dan asyiiiik punya nih TWC!
Ini menjadi kenyataan. Bahwa tugas di hari kedua, untuk mengumpulkan tulisan sepanjang sepuluh halaman layar laptop mesti dituntaskan: dikerjakan malam-malam sambil berpikir gila! untuk bisa menulis kok kenapa mesti begini rupa? Harus mengorbankan sedemikian berat.