Kalau dihitung angka tahun, sudah setengah lebih dari usia sekarang saya kerap makan sendirian. Malam-malam. Pasalnya, pekerjaan sebagai penulis, tak bisa dielakkan ketika orang-orang sedang terlelap tidur. Persisnya lembur atawa begadang. Akibatnya, jalan pintas masak sendiri dan instan. Dan mie menjadi pilihan!
Pernyataan jujur itu, bukan untuk gagah-gagahan, ya. Karena ketika lapar, kan ndak mungkin teriak-teriak, malam-malam, lagi. Dan menyajikan sendiri bakmi atau mie instan jalan ke luar terbaik. Ala saya menyajikan makanan kalong alias dini hari itu, kok ya masih betah. Sampai kini. Dengan tambahan-tambahan tak berarti. Meski kalau sedang memungkinkan, siang hari misalya, minta dimasakkan isteri kok rasaya kurang wah. Kurang mewah! Bukan berarti ketika itu mie jenis ini belum seperti sekarang, ada yang lebih komplet. Dan mewah! Bakmi kekinian nan mewah, ya Bakmi Mewah Rasa.
Permintaan kurang ajar itu, celakanya kerapnya saya tunaikan dengan baik, hehehe. Pertanyaannya, kayak apa sih mie ala penulis?
Memasak mie ala saya, tak berbeda dengan yang lain? Mungkin. Namun yang membedakan, ketika mesin tik – zaman dulu sebelum laptop seperti sekarang – masih di depan meja siap ditik, saya tetap menyetel lagu-lagu klasik atau instrumental. Lha, malam-malam, je! Lagunya: Simon and Garfunkel, Kalau jazz: GRP, Bob James atawa Song for Anna dan Fur Elise nan nglangut. Di samping keroncong atawa lagu Jawa.
Mie, sebagai bahan baku utama langsung direbus di air secukupnya – padahal ya agak banyak, seneng bajir kuah, he. Kompor yang sudah diceklek, segera merebus mie. Dalam proses perebusan itu, diaduk-aduk dengan garpu. Biar mie melemah alias melembut secara merata. Ah, di sini akan tampak air itu cukup tidak! Kalau kurang, boleh ditambahi lagi, dengan catatan sampai glutuk-glutuk umep masak! Seratus derajat! Pantang makan mie asal dicelup.
Nggoreng telor kan ndak pakai lama, tuh! Sementara mie sudah diaduk dengan bumbu yang ada. Ah, tinggal di atasnya ditaburi rajangan daun bawang, dan bawang goreng. Lalu, rajang atau iris beberapa timun dan tomat. Baru, telor tepiannya kering itu diletakkan di atasnya. Siap saji, deh.
Sebenarnya, belum usai sajian bakmi malam-malam. Karena sebagai orang Jawa, perlu krupuk! Apa pun jenisnya. Apakah itu krupuk putih, gendar, krupuk merah yang kerap disajikan oleh orang Padang yang menjual ketupe sayur!
“Jika ada emping, lebih sedap lagi,” kataku sedirian malam-malam. Oya, selalu ada cabe rawit, ding. Ya, ini sensasinya. Nyigit atawa ngeletus cabe bagian penting ritual mewah makan mie godok (baca: rebus) ala saya.
Cara menyajikan mie mewah malam-malam ala penulis ini jangan ditiru. Eh, boleh ding kalau mau nyotek. Coba saja! Asal dibarengi dengan makan sambil ngangkat kaki, dan menyimak tulisan-tulisan yang belum selesai. Istilahnya, ngedit kerja dan sambil makan bakmi.