CeritaMingguPagi16
Kereta api commuterline itu kosong, dan aku berjalan melewati kereta gerbong wanita. Di gerbong kedua, aku langsung duduk di bangku sudut yang biasanya diperuntukkan di antaranya wanita hamil. Kletek!
Kubuka koran yang baru kubeli di depan gerbang Stasiun Bekasi. Tak tertarik dengan para kyai yang sedang menggerudug gubenur perihal ontran-ontran itu. Justru kubaca tentang hotel-hotel di Bandung yang akan dijual karena okupansinya menurun.
Tak lama, dua orang wanita yang akan berdemo, lengkap dengan ikat kepala duduk di sebelahku yang tak mungkin kutolak. Satu sepertinya anak dari wanita terbilang menarik di usianya yang matang.
Kereta mulai beringsut, persis ketika seorang wanita muda, hamil dan cantik. Tak bisa tidak, walau tadi duduk paling awal ketika kereta kosong penumpang. Ini memang haknya, dan semetara di sampingku dua orang wanita.
“Silakan ...!”
“Terima kasih,” sahut si wanita hamil itu sembari mengangguk takzim.
Lega rasanya. Ikhlas.
Kereta berhenti di Stasiun Kranji, dan beberapa orang muncul dari pintu sebelah kanan lajunya kereta. Satu di antaranya, seorang wanita hamil. Dan, kuperhatikan si wanita berikat kepala yang lebih muda berdiri mempersilakan si wanita hamil naik dari Stasiun Kranji.
Wanita hamil kedua itu pun duduk tepat di tengah. Diapit wanita hamil dan wanita berikat kepala yang terus asyik berbincang dengan wanita muda yang sudah berdiri tak jauh dariku.
Kereta pun kembali melaju ke arah barat, ke Jakarta yang hari itu sedang digerudug para penentang yang disebut sebagai penista agama. Saya tak ikut-ikutan. Karena ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Sebuah buku karya teman yang akan diterbitkan. Ini jauh lebih penting, mengerjakan sesuai dengan waktu yang disepakati.
Aku yang berdiri tepat di antara mereka yang berhak: dua wanita hamil dan seorang wanita berikat kepala. Gonjlang-ganjleng, kereta terus disesaki penumpang. Dari stasiun-stasiun yang ada. Hingga kemudian naik seorang wanita hamil lagi. Ia yang memungkinkan lebih cepat di depan bangku di depanku, seperti meminta diri. Seraya menyebutkan sedang hamil, walau tak kudengar seraya memegangi perut bucitnya.
“Di sana tak ada, Mbak?” tanya si Ibu berikat kepala itu. Menunjuk ke bangku di depannya.
“Tidak ...!” sahut wanita hamil ketiga itu.
Dengan segan-seganan, wanita berikat kepala itu pun berdiri. Tanpa basa-basi lagi. Lalu asyik berbincang dengan wanita yang lebih muda yang sudah berdiri.
“Kita sedang tidak berutung, Bu,” kata wanita yang lebih muda.
“Ya. Percuma kita naik lebih dulu.”
Entah apalagi perbicangan mereka. Kereta cukup berisik. Seperti keduanya menampakkan wajah kesal. Entah untuk apa bagian kesalnya itu. Mungkin terusir tak bisa duduk hingga stasiun yang akan dituju, entah tentang orang yang dianggap sebagai penista agama. Bukanurusanku.
“Kita turunnya di Godangdia ...!” sebut wanita ikat kepala itu kepada beberapa orang yang seperti mereka. Berikat kepala dan membawa atribut yang tak bisa kubaca.
Di Stasiun Gondangdia itu, mereka pada turun. Termasuk dua wanita hamil kedua dan ketiga. Sehingga tinggal wanita hamil pertama yang kupersilakan duduk itu.
“Anda bijak ...,” sebut wanita hamil itu ketika kereta mulai melaju, dan aku duduk di sampingnya.
Aku mengernyitkan kening.
“Saya mengatakan yang sebenarnya ...,” sambungnya seperti ingin menandaskan ucapannya.
“Ah ...!”
Kereta terus melaju, hingga kemudian saya harus turun di Stasiun Mangga Besar.
“Saya juga turun di Mangga Besar .....”
Aku menelan ludah agar kerongkongan tak tercekat.
Kereta pun berhenti dengan sempurna, saat wanita hamil itu minta aku menuntunnya turun. Aku tak keberatan. Tak bisa menolak.
Kami pun turun dengan hati-hati. Layaknya seorang suami terhadap wanita hamil, aku memperlakukanya sebaik-baiknya.
“Tak keberatan saya minta digandeng?”
Aku pun melonggarkan tangan kiri, dan ia dengan lembut mencangklongkan tangan kanannya. Kami melangkah hati-hati.
“Saya tidak punya suami ....” desis wanita itu seraya memintaku untuk mengambilkan kartu tiket commuterlinenya di tasnya.
Aku melakukan yang terbaik untuk wanita hamil itu.
“Terima kasih ...,” ucapnya lembut ketika melewati pintu keluar. “Saya sepertinya mengenali Mas ....sebagai TeEs yang ....”
Aku menelan ludah lagi.
Aku diam saja ketika kepala wanita hamil itu menyandarkan ke bahuku. Dan kami berjalan di terik matahari.
***
Angkasapuri, Minggu, 11 Desember 16