Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kompasiana dan KPPPA Mengurangi Kekerasan Perempuan dan Anak

10 Desember 2016   17:57 Diperbarui: 11 Desember 2016   03:24 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persis di sebelah kiri saya, Maria Margareta, berdiri mengacungkan tangan. Dan dipilih, untuk mengajukan pertanyaan sekaligus melepas uneg-uneg perihal kekerasan yang dilihat sebagai seorang pendidik di lingkungannya. “Guru pun ada yang masih melakukan kekerasan kepada anak didik. Saya jadi gemes,” ungkap Kompasianer yang sudah menulis buku Guru Plus.

Sontak, pernyataan Maria mengundang Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI), Ir. Agustina Erni, M.Sc  menyimak secara sungguh-sungguh pada seminar nasional diskusi publik  “Bersama Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak” yang diadakan di Oranye Kuningan Hotel, Jakarta, Sabtu (3/12).

Meski hal yang semestinya mustahil ini sudah menjadi rahasia umum di lingkungan pendidikan. Setidaknya, apakah disebabkan guru punya kuasa terhadap murid? Padahal, sebagai seorang pedidik yang selazimnya digugu dan ditiru anak didiknya, memberi contoh dengan keteladanan yang “sempurna” atau lebih baik alias tak melakukan kekerasan bila bersifat  tidak mendidik . Setidaknya, ia menjadi salah satu kepanjangan tangan orangtua si siswa – selain mentransformasikan ilmunya – untuk ikut mendidik generasi secara bertanggung jawab.  

kppa-kartu-aak-584bdcf3597b61b0165584e7.jpg
kppa-kartu-aak-584bdcf3597b61b0165584e7.jpg
Persoalan yang kerap disebut sebagai kekerasan terhadap anak dan perempuan atau dalam lingkup keluarga: Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sesungguhnya hal klasik. Dan jika persoalannya  dimulaidari kemiskinan, maka menjadi hal “keniscayaan” yang perlu untuk diperhatikan secara seksama oleh termasuk KPPA – dan selayaknya bisa diubah dalam bidang pedidikan.

Apalagi, ketika KPPA sudah mengamati dan mendalami persoalan di Rumah Susun (Rusun) Marunda, Jakarta Utara. Di mana Rusun ini – sebagai percontohan perhatian –  yang dihuni oleh berbagai macam warga kelas bawah, muncul persoalan-persoalan, terutama, kekerasan terhadap anak dan perempuan.

Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, mesti diakui selalu meningkat. Jika menilik tabel yang diterasorotkan di screen yang ada, adalah:

Tabel ini menujukkan peningkatan kekerasan terhadap anak
Tabel ini menujukkan peningkatan kekerasan terhadap anak
Ini seperti segaris dengan, misalnya, yang dilaporkan KOMPAS, Jumat (9/12). Bahwa di ibukota DKI Jakarta masih rentan terhadap KDRT. Apalagi jika sudah mengarah ke tindak pelecehan seksual, dan seterusnya (baca: perkosaan).

Namun menarik, ketika mucul “Festival Budaya Perempuan: 1001 Cerita Perempuan Ciliwung untuk Kesetaraan Perdamaian dan Penghapusan Kemiskinan” yang diadakan oleh Institut Kapal Perempuan. Di mana Misiyah, direktur Kapalmengungkapkan ada 824 tulisan yang diungkapkan oleh para perempuan di komunitas ini sebagai bentuk “uneg-uneg” positif.      

Maka ketika muncul dalam perbincangan kecil, setelah acara pokok seminar berakhir, antara Deputi KPPPA Agustina dan beberapa orang Kompasiraner, termasuk Maria, seorang guru SMK Bekasi dan saya, mengemuka dari pembantu Menteri ini,  “Coba kalau guru-guru menulis tentang persoalan ini. Lalu ditularkan untuk memberi pengetahuan kepada sesama,” pinta Agustina.

Ibu Deputi KPPPA dan guru SMK
Ibu Deputi KPPPA dan guru SMK
Saya sempat menyebutkan, bahwa perihal guru-guru menulis, misalya sudah dilakukan oleh Komunitas  Sejuta Guru Ngeblog – tahun ini sudah memasuki tahun kelima. Artinya apa yang diharapkan KPPPA, agar kekerasan bisa dihalau dengan aktivitas  menulis – sebagai salah satu cara penghalusan budi pekerti atau perilaku kekerasan yang bisa ditularkan oleh guru di lingkungan mereka. Dan ini sudah dilakukan oleh KPPPA, misalnya dengan membawa 40an orang penghuni Rusun Marunda dalam aktivitas outbond di Cisarua, Cianjur, Jawa Barat.

Kekerasan terhadap anak dan perempuan secara nyata, pada galibnya sebuah tindakan yang tak berhenti ketika pelakunya diberi sanksi. Karena, terutama, pada korban jika ia seorang anak yang masih labil dalam jiwanya. Terornya berkelanjutan, dan bisa hingga sepanjang hayatnya – seperti dinyatakan nara sumber dosen maupun psikolog: Dr Sri Astuti (Uhamka) dan Vitria Lazarini (Yayasan Pulih). Apalagi, di era internet sekarang ini.

Di mana gampang dilakukan oleh anak-anak yang lebih wellinform.Meski tidakannya tidak tepat karena masih sedikitnya pengetahuan tetang “salah-benar”.  Oleh karenanya, jika keinginan  KPPPA bersosialisasi melalui guru dan tulisan ini menjadi sebuah jalan cerdas, dan ini sudah dilakukan seperti dalam seminar kali ini.

Nurul admin Kompasiana, Narsum dan host
Nurul admin Kompasiana, Narsum dan host
“Kami mengharapkan blogger membantu dengan menuliskan yang positif,” harap Ibu Deputi. Ya, seperti yang sedang dan terus dilakukan KPPPA sebagai lembaga negara yang sudah semestinya sesuai dengan labelnya.  Baginya, apa pun terhadap korban kekerasan kita wajib empati. “Mengingat ini menyangkut masalah masa depan dan perbaikan bangsa ke depannya,” sambungnya.  

Tak berlebihan bila Kompasiana – dengan blogger Kompasianernya di kisaran 320 ribu – untuk menyebarkan pencegahan  terhadap para predator yang ada di sekitar  kita. Karena, seperti niat dari mengakhiri kekerasan bukan hal mudah dan bahkan tak bisa mengakhiri benar-benar sampai titik nol.  Membutuhkan partisipasi nyata banyak pihak, seperti dinyatakan kemeterian ini sejak tahun 2016, semisal: organisasi keagamaan, masyarakat, promosi, dunia usaha, media massa, dan teman blogger.   

Pencantuman unsur “teman blogger” seperti klop dengan maksud  tujuan dari semiar ini. Di mana, anggota kompasiana (kompasianer) bisa menyebarluaskan secara viral. Bahwa jika ada kekerasan terhadap perempuan dan anak (di lingkungannya) bisa ditanggulangi atau dicegah tak meluas. Karena bagaimanapun, Kompasiana sebagai media warga, sudah semestinya ikut berperan aktif dalam mensharing dan mengcommunicatingkan hal yang positif.

Kompasiana, sebagian kompasianernya guru, yang hari itu hadir 85 orang sudah selayaknya menjadikan media ini sebagai pembelajaran atau menginformasikan kekerasan terhadap perempuan dan anak secara bijak dan berdampak ke arah perbaikan bersama untuk kepentingan sebuah bangsa yang sedang berevolusi mental.  Jika apa yang ditanyakan dan dimintakan Maria Margareta di awal tulisan ini menjadi tanggul yang baik dan benar, agaknya maksud dari “mengakhiri kekerasan” akan mencapai tujuannya. Semoga!    

Para kompasianer dan Narsum
Para kompasianer dan Narsum
      

***

Foto-foto TS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun