Jujur, nangkring di Museum baru kali ini. Selama ini kalau Kompasianer nangkring ya di cafe atau hotel. Tapi apa mesti mundur? Ndaklah. Sudah jauh-jauh menempuh perjalanan, Jakarta-Bandung dengan bis pakai macet di pintu keluar tol kan akan bertemu dengan berbagai makhluk, bukan makhluk geologi, hehehe.
“Sudah mulai?” tanya saya kepada seorang yang kuduga pegawai Museum Geologi yang terletak di Jalan Diponegoro, Bandung itu. Setelah selfie bareng Isson yang hari itu menyerupai seorang camera person sebuah stasiun TV. Apa saja dipotret. Apalagi kalau wanita muda – padahal baru kali itu ditemuinya. Dua, tiga sampai empat kaliia jepret. Seraya diatur-atur: Ya, senyum dikit. OK. Liat ke arah saya! Lebay....
“Coba lihat di dalam saja,” sahut lelaki muda itu. Seraya memberi petunuk jalan ke dalam, dan berbelok ke kanan.
Ketika mendaftar, nah bener kan. Disambut penjaga kelas Bandung. Adem rasanya. Disambut wajah muda cantik berjilbab. Di sebelahnya, lebih bening, tak berjilbab. “Siapa namanya?”
“TS, TenggoSera ...!” jawabku sok biasa kalau nangkring di kawasan Jakarta dengan inisial. Siallah, tentu. Kalau ia tak kenal namaku. Sehingga kami berdua merunut daftar – telunjuk jarinya dan telunjuk jari saya di kertas berderet nama – hadir nangkring “Tambang untuk Kehidupan”, bukan untuk menjerat leher, tentu.
“O, ini ...Thamrin Sonata!”
Iyalah ngaku saja. Sebab segera tanda tangan. Dan, segera menyeruput teh hangat, dan gula diguyurtaburkan ke dalam cangkir. Lalu tolah-toleh. Ada lelaki gondrong berambut putih tinggi. Bang Syaiful, ada Mbak Muthiah, ada ah ...Prof Pebrianov, Bang Bo, Syantrie Aliefya, sampai Mas Sugiyanto Hadi yang baru ke Jakarta di Ngoplah Fiksi di kandang Kompasiana dan dilanjut Kompasianival di Smesco, Jakarta. Plus ketemu Okti Li yang dari Cianjur bareng anak dan suaminya.
“Luana tinggal di mana?”
“Taman Sari ....” Lengkapnya ndak usah ditanya dan ada yang tau, biar TS saja yang nyimpen, hehehe.