Sepi masih saja wangi
Seperti harum rindu pada Septi
Di ujung kemarau kemarin, gerimis baru tiba. Satu-satu. Dihitung. Kuhitung sampai tetes sebelas, baru muncul wajahnya. Oh, bibir merahnya lebih dulu. Membesar, baru sepasang telaga matanya dengan lingir tebing hidung mancungnya. Menggaris.
“Kita bersua di mana?”
“Tak penting di mananya?”
“Apanya?”
“Bibirmu saja kirimkan kemari, kini.”
Tak ada dengar suara. Kembali sunyi, dan suara serangga malam mengganti. Seperti malam-malam sebelumnya di tepi danau menunggu Septi. Entah untuk berapa lama lagi. Ini sebuah pengharapan dibarengi doa. Apalagi yang kurang?
Bulan sepenggalah dari permukaan danau. Menyaput wajahnya. Tangan kuulurkan, dan menggapai.
“Satu purnama lagi ….”
Satu tarikan nafas, mengiringi jalan berbalik.