Naik Kereta api, tut, tut, tut!
Siapa hendak turut?
Seperti itulah penggalan lirik lagu anak-anak yang kuhafal betul. Hingga kini. Bahkan lagu “Naik Kereta Api” itu tak sekadar lagu yang asyik dinyanyikan secara riang gembira. Tersebab, saya tinggal hanya sekitar 350 meter dari stasiun kereta api di Pemalang, Jawa Tengah. Malah, saya menuliskan menjadi novel: Anak-anak Kereta api.
Dan bunyi kereta api jadul, saya pernah mengalami kereta api berloko hitam: jes, jes. Mendesis. Klaksonnya, tuit! Memekakkan telinga. Berbeda dengan Commuter Line, gerbong kereta yang digunakan Jepang dua puluh tahunan lalu: bersih, pintunya otomatis, dan secara jadwal pemberangkatan cukup tepat tiba di tempat tujuan. Bayarnya pun ….hm murah-meriah. Tiga ribu rupiah, bisa!
Tiga tahun terakhir ini, praktis basis moda transportasi saya sehari-hari dengan Commuter Line (CL). Karena pertimbangan-pertimbangan tadi: murah, bersih dan tidak macet. Meski untuk yang terakhir, tidakmacet, bisa berganti membuahkan kekesalan. Sebab, kerap perhitungan misalnya Stasiun Bekasi-Jati Negara 18 menit bisa menjadi lebih. Lebihnya, bisa sampai lima belas menit. Jadi, kalau dihitung 33 menit. Sebuah perhitungan yang masih bisa ditolerir bila dibandingkan dengan bus atau sejenisnya. Di samping besaran bayarnya, juga waktu yang lebih sulit diperkirakan jika naik bis atau angkot di Jabodetabek.
Risiko menggunakan CL, jalurnya itu saja. Tak bisa atau sedikit alternatif, tak sebagaimana kendaraan di jalan raya beraspal. Sehingga jika perhitungan meleset, ya tak bisa berbuat banyak. Semisal, saya akan nonton pementasan Teater Mandiri di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Palmerah Kompleks Kompas-Gramedia. Saya yang waktu itu akan berangkat dari Stasiun Kemayoran, siap sejak pukul 17. 50 Wib. Pertunjukan akan dimulai Pukul. 19. 30. Longgar alias cukup waktu. Ke Stasiun Tanah Abang menunggu CL dari Stasiun Jatinegara. Nanti disambung CL Tanah Abang-Serpong, dan turun di Stasiun Palmerah, tinggal berjalan kaki 5 menit. “Kereta masih tertahan di Stasiun Senen …!” sebut operator.
Sayang, hingga pukul 19, dan kuperhitungkan kalau CL tersedia, disambung ke Tanah Abang dan kemudian ke Palmerah tak cukup waktu. Sebab, biarpun pertunjukkan seni, ia lebih disiplin (waktu) dibandingkan setidaknya CL waktu itu. CL tak kunjung muncul. Saya pun membatalkan nonton teater, setelah diberi tahu teman yang sudah menunggu di BBJ: pertunjukan sudah mulai.
“Petugas itu rajin, ya?” gumam lelaki lebih tua yang duduk di samping saya ketika jam menunjukkan pukul 22 lebih di Stasiun Jatinegara. Di mana di seberang kami duduk menunggu CL ke Bekasi, seorang lelaki membersihkan toilet yang berdampingan dengan mini market. Saya pun perlu menjelaskan sebisanya. Bahwa uang bayaran (honor) di sektor ini pun lumayan memadai.
Jelas, (terutama) CL menjadi moda transportasi pilihan logis. Saya mentakzimi ucapan Menteri Ignasius Jonan (awal ia menjadi menteri) di Kompasianival 2014 di TMII. “Bapak-ibu takkan pernah melihat lagi penumpang kereta di atap, kan?” katanya. “Itu tidak mudah dalam membenahinya. Karena justru orang-orang dalam di PT KAI yang menolak manajemen yang saya terapkan,” lanjut mantan orang nomor satu di lingkungan PT KAI.
Terobosan yang konkret, tentu. Termasuk, saya mendengar sebuah pembicaraan (lagi-lagi) di Stasiun Jatinegara orang PT KAI menyebut, “Boleh dibilang, sekarang nol percopetan!”