Ndak kenal TS sama orang yang satu ini, setahun lalu. Setahun terakhir ini, rada-rada kenil. Tersebab, ketika saya nangkring di Semarang dan bertemu dengan Kompasianer di sana, menyembul sebuah nama yang masih di sekitaran ibukota provinsi Jawa Tengah itu. Untuk diajak gabung membentuk komunitas Kompasiana.
“O, Bambang Setyawan bisa diajak!” seru di antara teman-teman Kompasianer di Semarang yang mengikuti acara nangkring di kawasan Kota Tua.
Pulang dari Semaranglah, “Ke Jakarta aku kan kembali/ walaupun apa yang kan terjadi” berhubungan TS dengan Bamset. Saya yang mengatakan kepadanya ingin mengajak mendirikan semacam Komunitas Kompasianer Semarang. “Saya mau, tapi kalau waktu ikut kumpul makai celana pendek, Om. Apa boleh?” tanyanya.
“Memang harus bercelana panjang untuk kumpul sama Kompasianer? Bob Sadino yang pernah saya wawancarai saja, makai celana pendek, kok,” sahutku asal.
Dari hal-hal Kecil
Yang membuat saya respek – lebih senang menggunakan kosa kata ini daripada muja/ mengidolai/ penggemar – terhadap sosok yang belum pernah kutemui secara langsung ini. Karena ia, terutama bisa menulis apa saja yang dilihat di sekitarnya. Untuk sebuah Kotak Pos Surat kuno pun, di tangannya menjadi sebuah tulisan gurih untuk dikunyak. Apalagi ketika ia menulis Drumblek sampai dua kali, seingat TS. Betapa meriah, merakyatdan gembira! Baik yang ikut di acara semacam Jember Festival itu, dan Salatiga punya yang khas.
Bambang Setyawan menjadi kian menarik ketika menuliskan sosok-sosok penggiat perpustakaan, literasi. Termasuk saat ini Rabu (31/8) dengan HL-nya “Buruh Bangunan ini Akhirnya Mampu Mendirikan Dua Rumah Baca”. Ya, orang-orang yang bukan berlatar belakang dengan pendidikan tinggi. Plus bukan orang yang punya kelebihan dana – hal yang selalu dimajukan ke permukaan sebagai alasan bahkan oleh setingkat Kepala Daerah untuk ikut mencerdaskan bangsa. Boleh jadi, karena ia menjadi Bupati atau Walikota yang pendidikannya pas-pasan dan tak suka mengunyah buku. Ini bisa dilihat kalau berpidato, baik membaca lewat teks maupun tidak. Kosa katanya serba verbal dan itu-itu saja. Menandakan ia bukan seorang yang addict pada teks dari sebuah buku.
Seenggak-enggaknya hingga akhir Agustus ini saya melihat Bamset satu-satunya Kompasianer yang konsisten menuliskan apa yang ada di tataran bawah, dan di sekitar Salatiga, Boyolali, Purworejo, Semarang. Di wilayahnya. Dan ia menuliskan secara jurnalistik khas warga. Meski cukup informatif. Ndak usah muluk-muluk dengan teori 5 W + 1 H – kayak teori para jurnalis dari bangku sekolahan – yang memang kebanyakan tak dianut para blogger.
Sisi human interest-nya Bamset kuat. Ia humanis. Dan itu kekuatannya. Semangat menuliskan yang “membela” subyeknya, para bukan news maker. Dan bukankah ini wilayah Kompasiana?
Singkatnya, Bamset yang menyabet juara pertama blog competition 4Gin Aja ini khas orang yang suka bercelana pendek, hehehe. Dan layak untuk didudukkan di bangku Best in Citizen Journalism 2016.
Salam, Kompasiana.