SESEKALI, bolehlah menengok Negeri Baja, Kota Cilegon sisi paling barat Pulau Jawa ini. Di wilayah bagian Banten yang dikenal dengan para Jawaranya, ada kok sejumlah tempat mengudap atawa madyang nan nendang rasanya. Nasi Gonjleng, satu di antaranya. Dan satu-satunya di negeri ini.
Letak tongkrongan Nasi Gonjleng, berimpit dengan Rumah Dinas Walikota Cilegon, sisi kirinya. Tempat madyang ini diberitahu oleh Kompasianer Kang Nasir yang telah menulis buku CatatandariCilegon. Ya, saya dan Isson Khairul tahunya saat diundang acara bedah bukunya wong asli Cilegon, dan digiring ke tempat itu oleh Sutisna Abas sohib Kang Nasir.
“Bawa bae nang Nasi Gonjleng,” kata Kang Nasir memberi petunjuk kepada Sutisna yang juga punya pengaruh di Cilegon, hehehe. Maksudnya, kami diminta untuk menikamti makanan khas negeri baja ini.
TS dan Isson yang waktu itu nginep di Hotel persis sebelah Rumah Dinas Walikota (tempat bersejarah di mana bangunan model Belanda itu dijadikan kajian sejarawan Sartono Kartodidjo dalam bukunya “Permberantak Rakyat Banten” 1888) tinggal jalan kaki. Karena remoken, maka Tamita Wibisono dan Arum yang sepuluh Agustus dua ribu enam belas meliput Kongres Rakyat Banten pun kuajak madyang di situ.
Warung Nasi Gonjleng, ya kecil saja. Paling banter menampung dua puluh orang, itu pun pakai uyel-uyelan. Di mana calon pemadyang, bisa melihat menu nasi gonjleng plus lauk-pauknya: ikan disambal balado, sotong/unus/ cumi. Atau semacam gule dan sambal, tentu. Yang bisa ditaruh di atas nasi yang berwarna rada-rada mirip ketam item kalau dijadikan tape campuran uli. Sedangkan rasanya? Gurih dan beraroma Timur Tengah. “Itu karena dulu orang Banten banyak yang naik haji, dan belajar masak di sana,” ujar Kang Nasir.
“Rin, itu krupuk!” mangsudnya, mengingatkanku untuk tidak lupa sebagai Si Jawa mengudap krupuk. Hehehe. Tentu saja, tangan kiriku pun memegang kemudi makanan enteng putih masuk bareng Nasi Gonjleng: The One and Only in Cilegon.
PecakBandeng
Mengenai Nasi Gonjleng yang satu-satunya itu, kami berempat hanya diganjar bayaran seratus sepuluh rebu saja. Murah atawa sepadan. Memuaskan. Sehingga Tamita perlu moto-moto dan kemudian mengungah ke FB-nya. Bahwa Nasi Gonjleng menjadi pelengkap negeri nan penuh warna nasi: Nasi Uduh, Nasi Gandul, Nasi Pecel, Nasi ….macem-macelah.
Makanya, malam harinya kami mencoba kuliner lain di Kawasan JLS? Apa itu JLS: Jalan Lingkar Selatan. Yang malam hari, hm …berderet lesehan makanan macem-macem: nasi liwet, nasi goreng, mie rebus, nasi uduk, ikan bakar dan …hasil observasi beberapa menit pilihan jatuh pada yang bakar-bakar dan ada sambelnya. Ya, dasarnya emang empat orang suka pedes-pedes. Padahal yang Padang hanya Isson. Arum, Tamita dan TS Jawa, lho! Yang bisa dan biasa mengudap gudeg yang manis-manis gaya Jogjanan. (Oya, minuman hangat di sini pun lengkap, juga pernah ditulis Tamita tentang Bir Jawa yang berada di belakang Gedung DPRD Cilegon).
“Saya juga, wis!” sambung Arum.
Ah, yang penting lesehan. Lihat hasil jepretan Tami dan Arum. Suasana di JLS yang penuh tawaran kuliner malam, mungkin bisa menjadi rekomen penting. Walau ada Kompasianer Laura Irawati pernah akan menunjukkan sate enak mana (yang akan kutagih, hehehe), entahlah.
Jalanan lebar, dengan trotoar yang memungkinkan menikmati lesehan ndak seperti kalau di Malioboro Jogja adalah suasana penting dalam mengudap malam hari bagi kami yang bukan dari Cilegon. Sehingga Pecak bandeng, ayam bakar pesananku atawa Isson yang masih setia dengan sambal melumuri ikannya dengan sambal menjadi OK punya.
Lagi-lagi, dengan harga yang cukup bersahabat. Ndak terlalu jauh dibandingkan dengan Nasi Gonjleng. Sehingga kami kira, ini bagian tawaran wisata kuliner malam di Cilegon yang bagus. Ndak makai mukul harga yang bisa mbikin orang kapok orang non-Cilegon.
IkanLagi
Esok sorenya, dipandu Mbak Indah yang wong Cilegon, kami mengunjungi rumah makan dengan model bangunan saung. Di Jalan protokol, dan dengan tawaran menu yang beragam. Meski ada Kang Nasir, Sutisna Abas dan kami berempat manut-manut saja. Dan pilihan ikan bakar, cumi, sayur yang menjadi pelengkap okay. Selain otak-otak, sebelum menu utama disajikan.
“Kita ngikut Mbak Indah yang mewakili Mbak Laura!” seruku saat ia memilih deret menu yang disodorkan oleh perempuan muda di warung MG itu.
Kalau kemudian memang ikan dan sebangsanya itu, bukankah Cilegon memang punya laut, pantai, dermaga atau pelabuhan Merak? Ah, itulah asyiknya madyang di Cilegon. Sesuai dengan semangat maritim, eh …apa hubungannya?
Lihat saja. Pasti ngilerlah kalau ada menu seperti ini, dikudap dengan suasana lesehan di bawah gubug-gubug bambu dan atap rumbia. Apalagi, minumannya …hm banyak tawaran. Jus apa saja ada. Rasanya komplet untuk penjelajahan kuliner di Cilegon. Ndak sekeras baja, tapi empuk, kok. Hehehe.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H