Setelah membuka baju, ia pun membebat tangannya. Dengan sorot dingin sekaligus muram, ia menatap calon lawannya: seorang bertubuh gempal, berkulit gelap dan plontos. Berjalan cepat menuju lawannya, dihantamnya dengan swing kirinya, terjungkallah lawan yang lebih kekar itu. Sekali hajar. Ia pun mendapatkan segepok uang.
Jason Bourne tedampar di tengah kerasnya kehidupan: sebagai petarung bayaran. Di Yunani, ia hidup bak robot. Terus memenangkan adu otot hingga pertaruhan nyawa di tengah ruang hampa jiwanya. Sampai ia ditemukan oleh Nicky Parsons, perempuan sahabatnya. “Aku tahu siapa kamu sebenarnya…,” katanya. Sekaligus menjelaskan siapa Jason, ayah dan masa lalunya. Tentang dunia intelijen yang kadang mengejutkan bagi para pengambil keputusannya: seperti ular biludak. Berkepala dua.
Pertemuan keduanya sudah dilacak oleh Robert Dewey, (Tommy Lee Jones, pemegang Oscar) pimpinan CIA yang ambisius menguasai dunia digital dengan nilai yang fantastis serta bisa menguasai bisnis dunia tak terbatas. Maka keduanya pun diburu, terutama untuk menghabisi Jason – di sela-sela kondisi chaos di Athena: jalan penuh kerusuhan, bom meledak sewaktu-waktu. Sayang pertemuan singkat yang berarti bagi Jason untuk mengungkap jati dirinya, setelah perjalanan panjang dalam trilogy sebelumnya: The Bourne Identity, The Bourne Supremacy, dan The Bourne Ultimatum membuat Nicky tewas dibidik sniper – lelaki yang dendam berat untuk memburu Jason. Termasuk ia, Jason, melihat ayahnya (sebagai seorang analisis) yang diledakkan dengan mobilnya karena punya program hebat. Sekaligus ia mencari-cari siapa yang menghabisi sang ayah, yang tak lain sniper yang diberi tugas hingga ke Yunani itu.
Nonton film dengan bintang Matt Damon ini, mengasyikkan. Mengalir. Film plus selingan kejar-kejaran dengan motor, mobil dan duel dengan orang-orang yang memburunya secara keras dan membuat kita giris. Sekaligus dunia pelacakan teknologi tingkat tinggi sekelas CIA. Dunia nan canggih dan terhubung dengan cepat, di mana Jason berada: London, atau mana pun. Untuk diburu. Meski dengan kecerdikannnya, ia lolos dan kemudian balik memburu mereka. Meski, tentu, ia sempat krisis dan dibantu anak buah Dewey: Heather Lee (Alicia Vikander) – khas dalam film-film (cerita) yang bisa berubah.
Matt Damon mengesankan sejak ia menulis skenario dan main bareng Ben Afflecks dalam Good Will Hunting (1997) yang cerdas itu – bahkan ditabalkan sebagai pemenang Oscar untuk penulisan naskah (Academi Award for Best Original Screenplay). Matt, memang sempat belajar di Harvard University, sebelum total main film dengan sutradara papan atas Steven Spielberg, dan bintang-bintang top kelas Oscar semisal dalam, Saving Private Ryan.
Film dengan durasi 123 menit ini, seperti tak memberi nafas kita. Jason seperti sudah menyatu dengan Matt dalam tiap langkahnya yang mesti waspada, dan mesti bisa menggunakan apa saja untuk lepas dari kejaran petinggi negaranya Amerika – dalam hal ini CIA. Ia bisa disebut pecundang dan sekaligus patriot bagi Paman Sam, tergantung siapa yang mengatakan.
Genre film yang melibatkan dunia intelejen, kalau ditangan dan ditangani oleh sutradara cekatan, enak untuk ditonton. Dan Paul Greengrass ( yang membesut Supremacy dan Ultimatum) menyuguhkan racikan yang rancak. Mendekati karakter Jason yang hidup menanggung kemisteriusan identitas dirinya. Alur cerita yang standar – kemudian kita akan tahu siapa di awal cerita – ala Hollywoods tetap mengasyikan sebagai hiburan dan sekaligus teknologi canggih di era Abad 21 yang berlari kencang.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H